Kamis, 26 Mei 2011

POHON MAKNA (Puisi : Karya H. Dinullah Rayes)

Pohon makna itu tumbuh di lahan nurani-mu
Berkembang, berbuah budaya
Langit biru, laut biru

Setiap hari membuka jendela dunia
Kau hirup udara kota lima benua
Mengapung mutiara ilmu di kolam sukma-mu yang bening

Benih pepadian iptek, biji tasbih imtaq kau taburkan di
lahan hati anak-anak negeri
Insan dosen berbadan-berbatin budaya mentari-rembulan

Adalah suara, warna jati diri-mu yang intens
Mari kita bersampan keyakinan keluar dari muara yang alif
Mengembang layar nuju pelabuhan janji-mu yang surgawi




Sumbawa Besar, 30-11-2010

(buat ytc. Bu Tiyah dan mitra Sarafuddin pahlawan peradaban dalam abad berlari di bumi Sumbawa dan Tanah Jawa, Indonesia tercinta)

Kamis, 21 April 2011

SEJARAH DAN ILMU SOSIAL

Sejarah merupakan cabang ilmu pengetahuan yang menelaah tentang asal usul dan perkembagan serta peranan masyarakat di masa lampau berdasarkan metode dan metodologi tertentu. Sejarah dapat diartikan sebagai riwayat tentang masa lampau atau suatu bidang ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan menuturkan riwayat masa lampau tersebut sesuai dengan metode-metode tertentu yang dapat dipercaya (Sutiyah, 1991 : 30). Dengan demikian, maka riwayat masa lampau sebagai objek studi sejarah akan berkaitan dengan suatu peristiwa kehidupan manusia yang menyangkut segala bentuk dan aspeknya. Dalam penuturan sejarah, peristiwa tersebut diurutkan sesuai periodesasi atau waktunya secara kronologis. Analisa sejarah tentang suatu gejala dan suatu peristiwa atau kejadian akan didapatkan sebuah gambaran tentang hal tersebut pada masa yang akan datang. Sehingga sedikit banyak akan dapat memperhitungkan kecenderungannya di masa yang akan datang pula.
Seperti halnya dengan disiplin ilmu yang lain, sejarah merupakan salah satu wahana dalam upaya untuk mencerdaskan bangsa dalam pengertian luas. Dalam hal ini, Suhendra Suparno (1995 : 1) menyatakan bahwa sejarah berpijak pada fakta masa lampau yang dianalisis untuk memahami masa kini dan diproyeksikan untuk kehidupan masa depan. Hal ini berarti bahwa sejarah merupakan pengalaman manusia atau kelompok manusia terhadap suatu peristiwa yang tidak bisa diabaikan dan dilupakan. Tanpa sejarah, manusia tidak mungkin memiliki pengetahuan tentang dirinya terutama sekali tentang kehidupannya.
Sejarah merupakan rekonstruksi masa lalu (Kuntowijoyo, 2001 : 18). Dari pendapat tersebut, dapat dimaknai bahwa sejarah adalah suatu usaha mengorganisasikan dan mengulas kembali peristiwa atau kejadian masa lalu baik melalui proses pengkajian maupun melalui proses belajar. Dengan demikian, sejarah mempunyai manfaat yang sangat besar terhadap pembaharuan pengetahuan masa kini tentang suatu peristiwa dan perkembangan masyarakat pada masa lampau. Dalam pandangan, Herodutus dari Yunani mengemukakan teori metodologi sejarah. Menurut dia, sejarah itu harus ditulis berdasarkan apa yang didengar dan dilihat oleh seorang peneliti. Misalnya, perang Yunani harus dilihat dan didengar oleh peneliti sejarah.
Ilmu-ilmu sosial merupakan sumber dari semua rumpun Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) hanya saja berbeda dalam masalah pendekatannya. Dalam ilmu sosial, pendekatannya bersifat multi dimensional yaitu pendekatan yang berdimensi segi banyak, sedangkan dalam IPS pendekatannya lebih bersifat praktis karena hal-hal yang diuraikan itu lebih bersifat praktis pula. Ilmu sosial memiliki hubungan erat dengan sejarah bila dilihat dari segi filsafat. Filsafat sejarah merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Filsafat sejarah memiliki unsur-unsur ontologi, epistimologis dan statis bila dibicarakan. Ontologi sejarah akan berisi hal-hal yang berhubungan dengan dasar-dasar ilmu sosial, sedangkan ilmu sosial berkembang terus sejak zaman Herodutus hingga sekarang ini. Pada tahun 1934 dilaksanakan pertemuan sejarawan di Amerika Serikat yang kemudian berubah menjadi pertemuan ilmu sosial dan mereka inilah yang menjadi tokoh ilmu sosial (Social Studies) yang kemudian di Indonesia dikenal dengan Ilmu Pengetahuan Sosial.
Dalam kaitannya dengan ilmu sosial, kadang kala orang cenderung memiliki pemahaman yang sempit tentang sejarah dan sering keliru dalam pemahamannya terhadap sejarah. Mereka menganggap bahwa sejarah itu hanya menguraikan nama-nama tokoh, tahun-tahun dan tempat terjadinya peristiwa sejarah. Pemahaman ini bukan merupakan sesuatu yang mengherankan, karena apabila diperhatikan dalam perkembangan historiografi, pada mulanya memang sejarah hanya mengungkap tentang nama tokoh, waktu dan tempat terjadinya peristiwa sejarah. Dengan demikian ada kesan bahwa belajar sejarah hanya untuk menghafal nama tokoh besar atau tokoh politik yang biasanya adalah tokoh militer, angka tahun dan tempat yang kadang-kadang sulit dihafal.
Apabila dicermati secara mendalam, sejarah sebenarnya agak sulit dikategorikan apakah termasuk ilmu sosial atau humaniora, tetapi dalam kenyataannya sejarah termasuk dalam ilmu sosial. Dalam humaniora, ilmu sosial dan ilmu alam, sejarah termasuk ilmu sosial tetapi dalam kenyataannya sejarah termasuk dalam kedua-duanya yaitu ilmu sosial dan humaniora. Oleh karena itu sejarah dapat saja disebut ilmu sosial, sejarah masuk dalam ilmu sosial sebenarnya hanya pendekatan saja dan pendekatan itulah yang paling penting dalam pengembangan teori-teori sosial. Ilmu sosial dengan pengembangan multidimensional sebagai pendekatan, maka ilmu-ilmu sosial memasukkan sejarah sebagai kelompoknya (Peter Burke, 2003 : 20-30). Dalam metodologi sejarah, sejarah cenderung kearah ilmu-ilmu sosial sebab ilmu sosial merupakan fenomena-fenomena yang sering diamati sejarawan.
Jacques Le Goff dalam Gilbert and Stephen (1972 : 337) mengemukakan bahwa sejarah dan rakyat tertarik pada tampilnya negara monarchi, pangeran dan pembantunya ke atas panggung politik, sehingga sejarah menampilkan secara mantap tentang tokoh raja. Di samping itu sejarah yang diuraikan sejarah politik terutama masalah perang. Misalnya karya Herodutus tentang “Perang Persia”, Tuchydides tentang “Perang Peloponesus” dan Yuliius Caesar tentang “Perang Ghalic” (Peter Gay and Gerald J., 1972 : 1-156). Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, dalam penulisan sejarah pun mengalami perkembangan. Penulisan sejarah ilmiah tidak hanya menguraikan nama tokoh, waktu dan tempat terjadinya peristiwa serta berkaitan dengan perang, tetapi juga aspek lain. Misalnya keadaan ekonomi suatu masyarakat, hubungan antar raja/penguasa dengan rakyat, layanan kesehatan masyarakat, hubungan tata kota dengan epidemik, perkembangan kota, tata kota dan bencana alam, produksi pangan, ekonomi pedesaan, produksi hutan, pertambangan dan lingkungan, petani dan pasar dan sebagainya.
Di samping masalah yang dikaji, pemaparannya juga dituntut untuk tidak hanya dapat mengungkapkan pertanyaan bagaimana tetapi juga pertanyaan mengapa. Hal ini disadari bahwa sejarah mengungkap masa lampau umat manusia yang sifatnya kompleks, meliputi berbagai aspek, seperti aspek ekonomi, aspek politik, aspek agama, lingkungan geografis, norma dan sebagainya. Untuk itu dalam mengkaji masa lalu umat manusia yang akan menjadi karya sejarah diperlukan bantuan dari ilmu lain, yaitu dari ilmu-ilmu sosial. Pendekatan yang demikian ini oleh Sartono Kartodirdjo (1992 : 87) dikenal dengan pendekatan multidimensional. Penggunaan pendekatan ini dalam rangka penulisan sejarah kritis.
Dalam perkembangan penelitian dan penulisan sejarah, terutama bagian kedua abad XX, sejarawan telah membiasakan diri untuk mengenal dan menggunakan konsep-konsep baik yang dikenal dalam lingkungan sejarah sendiri maupun dari ilmu social. Pada saat menganalisis peristiwa atau fenomena masa lampau, sejarawan menggunakan konsep-konsep dari berbagai ilmu sosial yang relevan dengan pokok kajiannya agar memberikan karakteristik ilmiah pada sejarah. Menurut Anskermit (1985 : 246-247) peminjaman ilmu sosial dalam sejarah seperti tersebut di atas, terdapat beberapa alasan : (1) Dengan bantuan teori ilmu-ilmu sosial yang menunjukkan hubungan antara berbagai faktor, pernyataan-pernyataan tentang masa lampau dapat dirinci, baik secara kualitatif maupun kuantitatif; (2) Teori sosial ilmiah mengadakan hubungan antara berbagai variable.
Hal ini dapat mendorong sejarawan untuk meneliti satu aspek masa lampau dengan variable tertentu, sehingga dengan bantuan ini sejarawan dapat melacak hubungan antara aspek yang satu dengan aspek lainnya. Di samping itu juga dapat mendorong mengadakan penelitian dan menemukan jalan untuk mendapat jawaban baru atas pertanyaan-pertanyaan lama; (3) Kaitan dan permasalahan yang timbul dari teori ilmu sosial memberi tempat yang baru bagi tinjauan sejarah. Sejarawan dapat dibantu menyusun pengetahuan masa silamnya dalam struktur yang memadai; (4) Teori-teori ilmu sosial biasanya berkaitan dengan struktur umum dan supraindividual dalam kenyataan sosio-historis, sehingga dapat menganalisis perubahan-perubahan yang mempunyai jangkauan yang luas, dan (5) Bila teori yang dugunakan dalam ilmu sosial itu mempunyai kredibilitas maka dapat menghilangkan tuduhan (label) subjektivitas dalam sejarah.
Dalam perkembangan berbagai bidang ilmu dewasa ini, sejarah juga dituntut untuk mengejar perkembangan itu. Mengacu pada pernyataan Sartono Kartodirdjo, bahwa apabila sejarah ingin eksis harus mengikuti perkembangan ilmu-ilmu sosial. Sejarah tidak hanya menyajikan scara naratif tentang suatu peristiwa atau hanya menjawab pertanyaan bagaimana, tetapi juga harus mengarah pada analitis, sehingga sejarah tidak steril dan kering. Untuk keperluan itu dapat digunakan konsep, teori dan teknik dari ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, politik, antropologi, ekonomi, kebudayaan. Penggunakan ilmu sosial dalam sejarah hanya sebagai ilmu bantu dalam mempertajam analisis, bukan untuk menjadikan sejarah sebagai ilmu sosial dan bukan untuk menghilangkan kekhususan sejarah, terutama masalah waktun dan perubahan, karena tanpa waktu dan perubahan bukan sejarah. Di samping itu juga agar untuk menghindarkan eksplanasi yang tergesa-gesa dan terlalu sederhana. Hal ini akan dapat menghasilkan karya sejarah yang khusus, unik dan komprehensif sehingga dapat mempermudah seseorang memahami teori-teori sosial dalam sejarah.


DAFTAR RUJUKAN

Anskermit, F.R., 1987. Refleksi tentang Sejarah: Pendapat-pendaat modern tentang Filsafat Sejarah. Jakarta: Gramedia.

Burke, Peter. 2003. Sejarah dan Teori Sosial (Terjemahan; Mestika Zed & Zulfami). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Gay, Peter and Gerald J. Cavabaugh. 1972. Historians at Work Vol 1. New York: Harper & Publisher.

Gilbert, Felix and Stephen, R. Craubard. 1972. Historical Studies Today. New York: W.W. Norton and Company Inc.

Sartono Kartodirdjo. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia.

_________, (Ed.). 1960. Philosophy of History : an Introduction. New York: Herper & Row Publishers.

Sutiyah. 1991. Dasar-dasar IPS (IPS 4101). Buku Pegangan Kuliah FKIP – P.IPS – Sejarah. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Suhendra Suparno. 1995. “Pengajaran Sejarah Sebagai Sarana Memperkuat Jatidiri dan Integritas Bangsa”, Dalam Pengajaran Sejarah, Kumpulan Makalah Simposium. Jakarta: Ditjarahnita.

KASUS DAVAO SEBELUM PERANG DI FILIPINA (1903–1941)

Suatu realita dalam peradaban dunia mengenai orang-orang Jepang sebagai suatu kekuatan imperialis dan realitas mengenai bangsanya tetap merupakan teka teki bagi kebanyakan orang pribumi di Asia Tenggara. Merupakan suatu mata rantai yang membuat seorang pelacur Jepang menjadi orang Eropa yang terhormat, sementara seorang aristokrat pribumi tetap pribumi (anak laki-laki salah seorang birokrat yang menjadi aristotrat dengan pangkat paling tinggi dipanggil Minke oleh seorang guru sekolah bangsa Eropa) dan seorang hartawan kaya raya Cina tetap merupakan orang timur asing. Penduduk pribumi baru akan melihat hubungan ini pada permulaan Perang Dunia II, ketika negeri mereka diserbu dan diduduki oleh tentara militer Jepang dan mereka melihat dengan nyata perubahan orang Jepang setempat dari sebutan orang Jepang menjadi orang Dai Nippon (Nippon Raya).
Meskipun demikian, orang-orang Jepang di koloni Asia Tenggara telah lama yakin akan kaitan mata rantai ini. Mereka merumuskan dengan kata-kata jika mereka mengatakan “matahari terbit (hinomaru) berada di belakang mereka”. Keyakinan mereka akan hal itu terbentuk penuh arti di dalam kehidupan mereka dan sifat komunitas mereka di koloni Asia Tenggara. Pemusatan orang Jepangdi Asia Tenggara sebelum Perang Dunia II adalah di Davao, Mindanao bagian tenggara Filipina. Pada tahun 1941 terdapat sekitar 20.000 orang Jepang yang tinggal di Davao yang merupakan fokus utama dari investasi ekonomi orang Jepang dalam skala besar di Asia Tenggara. Sejak kedatangan imigran pertama pada tahun 1903, orang Jepang di Davao tetap sangat menyadari identitas nasionalnya meskipun sudah hidup dan bekerja bertahun-tahun dengan tetangganya yang non-Jepang di negara asing.
Para pemukim inilah yang diawasi oleh konsul Jepang dan Perhimpunan Orang Jepang, telah memindahkan suatu komunitas dari tanah airnya ke Davao dan tidak menunjukkan tanda berasimilasi dengan populasi orang Filipina. Seiring dengan berjalannya waktu, ada tiga belas sekolah dasar Jepang yang didirikan di daerah Davao dan sekolah-sekolah ini merupakan salah satu lembaga paling kuat yang menekankan ikatan yang lebih erat dengan tanah airnya (Negara Jepang). Jadi sangat jelas bahwa peranan sekolah Jepang di dalam pembentukan komunitas orang Jepang terbesar di Asia Tenggara sebelum perang sangat kuat dan bahkan kondisi itu berjalan terus sampai terbentuknya persemakmuran Filipina.
Adapun perhimpunan orang Jepang di Davao didirikan pada tahun 1918. Semula perhimpunan orang Jepang itu dibentuk dua kali atad desakan konsul Jepang yang ada di Manila. Pertama kali dibentuk pada tahun 1907, dimana tahun ini juga Ota Kogyo didirikan dan pembentukan yang kedua pada tahun 1916, akan tetapii dalam kedua tahun itu yang ada hanya nama saja. Dengan adanya perubahan Undang-Undang Tanah Publik tahun 1919 Perhimpunan Orang Jepang dibentuk lagi untuk melindungi kepentingan pemukim orang Jepang. Namun inipun tidak segera membuahkan organisasi komunitas orang Jepang di bawah pengayoman Perhimpunan Orang Jepang. Jumlah imigran Jepang berfluktuasi sejalan dengan perekonomian dalam negeri Jepang dan harga serat rami serta komunitas di Davao sebagian besar tetap terdiri atas pekerja imigran.

Minggu, 10 April 2011

AMANDEMEN UNDANG UNDANG DASAR 1945

PENDAHULUAN
UUD 1945 merupakan acuan bagi negara dalam rangka menjalankan pemerintahan dan induk segala hukum yang berlaku di Indonesia, didalamnya memuat ketentuan pokok dan fundamental mengenai tata cara lembaga kenegaraan, Hak Asasi Manusia, ataupun memuat hak dan kewajiban warga negara. Dilihat dari sejarahnya, UUD 1945 dirumuskan oleh para pendiri negara yaitu para tokoh PPKI dan BPUPKI, dimana pada masa itu mereka berbicara sebagai seorang negarawan dan bukan sebagai konteks politisi. Oleh karena itu, apa yang dicantumkan di dalam batang tubuh UUD 1945 hanya memuat aturan dan pedoman bangsa Indonesia untuk bertindak dalam konteks waktu saat UUD tersebut dirumuskan dan bukan rumusan yang secara detail memberikan pedoman kepada bangsa Indonesia untuk bertindak di masa depan.
Pada dasarnya UUD 1945 dibuat untuk jangka waktu sementara sesuai dengan kebutuhan bangsa pada waktu yang bersangkutan, jadi sangat tidak tepat apabila bangsa Indonesia tidak melakukan perubahan lewat amandemen UUD 1945, khususnya pada batang tubuh UUD 1945. Sementara itu, dalam pembukaannya masih dapat dipertahankan karena merupakan kebutuhan politik yang sangat fundamental sebagai kesepakatan final untuk perekat bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai macam perbedaan, baik agama, ras, maupun suku bangsa. Perlunya amandemen ini dikarenakan, sebuah bangsa dari waktu ke waktu selalu mengalami dinamisasi sehingga sistem aturan yang terkandung di dalam UUD harus dijaga dan selalu disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan jaman (disesuaikan dengan kaidah negara yang fundamental). Sebagai bangsa Indonesia yang selalu bergerak dinamis jangan memandang bahwa semua kalimat yang tercantum dalam penjelasan UUD 1945 dijadikan sebagai penafsiran yang mutlak dan menganggap tafsiran tersebut sebagai kebenaran akhir yang tidak dapat diperbaiki dan diperbaharui. Dengan kata lain, UUD 1945 bukanlah barang sakral yang sudah tidak bisa diganggu gugat lagi kebenarannya.
Sistem ketatanegaraan Indonesia pasca Amandemen UUD 1945, sesungguhnya mengandung dimensi yang sangat luas., yang tidak saja berkaitan dengan hukum tata Negara, tetapi juga menyangkut bidang-bidang hukum lain. Bidang hukum tersebut antara lain menyangkut seperti hukum administrasi, Hak Asasai Manusia, dan lain sebagainya. Dimensi perubahan itu juga menyentuh tatanan kehidupan politik di tanah air, serta membawa implikasi perubahan yang cukup besar di bidang sosial, politik, ekonomi, pertahanan, dan hubungan Luar Negeri baik bilateral maupun multilateral.

MASALAH
-Bagaimanakah Undang Undang Dasar 1945 sebelum dan sesudah amandemen?

URAIAN
1. Undang Undang Dasar 1945 sebelum Amandemen
Sejak awal disahkannya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945, UUD ini sesungguhnya tidak dimaksudkan sebagai undang-undang dasar yang sifatnya permanen. Ir Soekarno yang mengetuai sidang pengesahan undang-undang itu secara tegas menyatakan bahwa UUD 1945 adalah Undang Undang Dasar “sementara” yang dibuat secara kilat yang nantinya jika keadaan telah memungkinkan kita akan membentuk majelis permusyawaratan rakyat yang akan menyusun Undang Undang Dasar yang lebih lengkap dan sempurna. Sejak saat itu lembaga kepresidenan RI untuk pertama kali dibentuk. Pada masa permulaan berdirinya RI kekuasaan Lembaga Keperesidenan dapat dikatakan bersifat mutlak karena dalam aturan peralihan dan konstitusi negara yang baru saja dibentuk menyatakan bahwa “ Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang Undang Dasar, segala kekuasaan dijalankan oleh presiden dengan bantuan Lembaga Konstituante” (Pasal IV). Oleh karena itu, Aturan dasar UUD 1945 secara implisit menyebutkan bahwa UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 itu hanya akan berlaku selama 4 bulan lamanya. Dalam enam bulan setelah selesainya perang Asia Timur Raya, presiden sudah harus menyelesaikan tugasnya menyusun segala peraturan dan membentuk lembaga-lembaga Negara sebagaimana diatur oleh UUD 1945, termasuk didalamnya membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dalam enam bulan setelah MPR terbentuk, majelis itu sudah harus menyelesaikan tugasnya menyusun undang-undang dasar yang baru.
Pernyataan itu sebenarnya dikeluarkan sebagai sebagai suatu strategi kepada dunia internasional, terutama kepada sekutu bahwa Indonesia benar-benar merupakan sebuah negara merdeka yang demokratis,. Indikator Negara merdeka bagi sekutu yaitu adanya sistem multipartai dan sistem pemerintahan parlementer. Artinya telah terjadi penyimpangan dari UUD 1945, khususnya pada penjelasan resmi Bab IV yang berbunyi “1). Presiden sebagai penyelenggara kekuasaan tertinggi di bawah Majelis, 2). Menteri-Menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Dengan mendasarkan pada pengamalan Pancasila dan UUD yang konsekuen, demokrasi pancasila telah dibelokkan menjadi demokrasi liberal.
Sejak di keluarkannya dekrit Presiden 5 Juli 1959, negara RI mendasarkan kembali sumber hukum negara pada UUD 1945. Masa ini yang disebut juga dengan masa ORLA (Orde Lama) banyak terjadi penyimpangan yang dilakukan. Sistem pemerintahan tidak sepenuhnya dijalankan berdasarkan UUD 1945. Menurut Feith (1962), dalam karyanya yang berjudul The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia ia menyatakan bahwa kegagalan Demokrasi Parlementer di Indonesia dikarenakan adanya dua gaya kepemimpinan yang berbeda antara kalangan Elite Indonesia pada masa pasca kemerdekaan (solidarity makers), dan di satu pihak adalah yang termasuk dalam kategori administrators atau problem solvers.
Setelah hasil pemilu 1955, maka terdapat empat partai besar yang berpengaruh yaitu NU, Masyumi, PNI, dan PKI. Besarnya pengaruh PKI mengakibatkan ideologi NASAKOM dikukuhkan dan disamakan dengan Pancasila. Pada masa itu dipaksakan doktrin seolah-olah negara dalam keadaan revolusi dan presiden sebagai kepala negara secara otomatis menjadi Pemimpin Besar Revolusi. Pada masa itu juga diperkenalkan demokrasi Terpimpin sehingga menuju pada kepemimpinan yang otoriter yaitu mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup yang dikukuhkan oleh MPRS. Padahal pengangkatan presiden seumur hidup bertentangan dengan Pasal 7 UUD 1945. Selain itu banyak pula penyimpangan lain seperti presiden mengeluarkan produk hukum yang sejajar dengan undang-undang tanpa persetujuan DPR, presiden membubarkan DPR hasil pemilu karena tidak menyetujui RAPBN dan kemudian presiden membentuk DPR GR (Gotong Royong).
Undang Undang Dasar 1945 secara runtut terdiri dari Pembukaan, Batang Tubuh, 16 bab, 37 pasal, 49 ayat, 4 pasal aturan peralihan dan 2 ayat aturan tambahan di era orde baru bertekad untuk mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, namun kenyataanya juga banyak penyimpangan-penyimpangan yang tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD tersebut, misalnya pemimpin lembaga tertinggi negara, dan lembaga tinggi negara dijadikan menteri negara. Dalam pelaksanaanya ditunjukkan dengan pimpinan DPR/MPR, BPK, dan MA oleh presiden dijadikan menteri. Padahal menurut pasal 17 UUD 1945, kedudukan menteri adalah pembantu presiden dan mereka bertanggung jawab kepada presiden. Memang secara prinsip kekuasaan itu harus tunduk kepada ketentuan-ketentuan hukum, tetapi dalam kenyataanya selalu ada hubungan dilematik antara hukum dan kekuasaan. Kekuasaan harus didasarkan pada hukum sementara hukum itu adalah produk dari kekuasaan. Jadi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sampai dengan tibanya era reformasi, sebenarnya tidak pernah terjadi pergantian Undang Undang Dasar. Hal yang penting menyangkut berbagai penyelewengan pemerintah Orde Baru terhadap UUD 1945 adalah terkait dengan penyelengaraan kekuasaan negara. Pemrintah Orde Baru terlihat dengan sengaja memanfaatkan pasal-pasal dalam UUD 1945 untuk semakin memperkuat kekuasaanya. Hal ini tampak dengan terpilihnya Soeharto selama hampir 32 tahun atau dapat dikatakan sebagai diktator yang terselubung. Dalam kasus ini diakibatkan karena. Pertama, Konstitusi Republik Indonesia tidak menunjukkan dengan tegas batas masa jabatan seorang presiden. Dalam UUD 1945 Pasal 7 Dinyatakan bahwa Presiden dan wakil presiden memegang jabatannya selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali”. Dengan pasal ini terbuka lebar untuk melakukan intepretasi tentang masa jabatan seorang presiden. Orde Bru sendiri mengiterpretasikan pasal itu sebagai cara untuk terus berkuasa dan membentuk kekuasaan yang sifatnya absolut karena setelah berkuasa selama lima tahun dapat dipilih kembali untuk berulang-ulang kali. Pada pasal 6 ayat 2 UUD 1945 dijelaskan bahwa wakil Presiden dan Presiden dipilih oleh MPR melalui suara terbanyak, tetapi pada kanyataanya MPR tidak pernah menetapkan calon presiden dan wakil presiden lebih dari satu calon semasa Orba. Kedua, presiden memiliki sumber daya yang sangat besar, yang dapat digunakan untuk memelihara kekuasaanya sehingga tidak ada seorangpun atau institusi apapun yang akan mampu bersaing dengan presiden yang sedang memangku jabatan.
Oleh karena itu UUD 1945 harus diubah mengingat latar belakang historis penyusunannya, maupun tuntutan perkembangan jaman. Hal ini bukanlah pendapat yang populer pada masa sebelum reformasi karena pendapat yang dikembangkan pada waktu itu ialah UUD tidak dapat diubah. Apabila ingin mengubah UUD 1945 harus melalui referendum sebagaimana diatur dalam ketetapan MPR, padahal ketetapan MPR tersebut telah menyalahi ketentuan pasal 37 UUD 1945. Pendapat Prof. Notonagoro pada waktu itu juga dijadikan pegangan bahwa UUD 1945 tidak dapat diubah. Jika UUD diubah maka akan terjadi pembubaran negara. Namun kenyataanya banyak negara didunia yang mengubah konstitusinya tanpa meyebabkan bubarnya negara itu.
Ketidakinginan melakukan perubahan terhadap UUD 1945 di Zaman sebelum reformasi bukanlah sebuah permasalahan hukum tata negara tetapi masalah politik. Politik dalam hal ini dapat menentukan diubah atau tidaknya UUD. Tentu saja perubahan ini dilaksanakan dengan cara-cara yang demokratis dan konstitusional. Diluar cara itu, masih terdapat cara lain yaitu revolusi, jika cara ini ditempuh maka akan sangat tergantung apakah tindakan ini dapat dipertahankan atau tidak. Jika berhasil maka konstitusi itu akan diterima dan menjadi sah, namun apabila gagal maka dengan sendirinya perubahan itu akan gagal.

2. Undang Undang Dasar 1945 setelah Amandemen
Gairah bangsa Indonesia untuk melakukan amandemen UUD 1945 kembali memuncak ditandai dengan keberhasilan para intelektual muda (mahasiswa) untuk mengulingkan pemerintahan Orde Baru yang dianggap telah banyak menyalahgunakan aturan yang terdapat dalam UUD 1945 untuk keserakahan harta dan kekuasaan. Selain itu, gerakan heroik mahasiswa tahun 1998 juga dimaksudkan untuk mengembalikan tatanan demokrasi Indonesia yang telah lenyap dalam beberapa dekade ditangan penguasa. Ada beberapa pertimbangan mengapa UUD harus dilakukan amandeman.
Pertama, Selama Indonesia memakai UUD 1945 selalu melahirkan pemerintahan yang tidak demokratis, bahkan cenderung dikatakan sebagai pemerintahan otoriter. Dapat dijelaskan bahwa dalam UUD 1945 tidak ada aturan yang detail mengenai pembatasan kekuasaan sehingga para penguasa baik penguasa Orde Baru maupun penguasa Orde Lama selalu menafsirkan kaidah dalam UUD tersebut sesuai dengan kepentinganya masing-masing. Apabila saat ini belum ada perubahan konstitusi yang mengatur pembatasan kekuasaan, maka tidak mengherankan apabila nantinya muncul kembali para penguasa otoriter di jaman serba demokrasi ini. Ini membuktikan bahwa aturan dalam UUD tersebut tidak selamanya benar dan harus disesuaiakan dengan perkembangan Jaman. Seperti dalam penjelasan di awal bahwa UUD 1945 memang dibuat dalam keadaan yang tergesa-gesa sehingga mengandung segi-segi kelemahan yang memungkinkan pemerintahan diktator baik secara terang-terangan maupun secara terselubung. Oleh karena itu keinginan untuk menghindari kediktatoran ini menjadi latar belakang yang penting untuk mendorong proses perubahan UUD 1945 pada era reformasi.
Kedua menyatakan bahwa, UUD 1945 sebenarnya dibuat untuk maksud sementara, dari sudut pandang sejarah pembuatanya belum memuat berbagai konstitusi tertulis. Selain itu, UUD ini dibuat dalam jangka waktu yang sangat singkat yang didalamnya belum terdapat pertimbangan-pertimbangan yang matang, jadi nilai kebenarannya juga masih bisa diubah dan diperbaiki sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan negara. Badan pembuat UUD tersebut juga bukan merupakan badan yang representative untuk menetapkan UUD, jadi tidak salah apabila dikatakan UUD merupakan aturan sementara yang sewaktu-waktu dapat diamandemen.
Selain itu, arah amandemen dari UUD tersebut harus sesuai dengan situasi dan kondisi bangsa Indonesia sekarang agar tidak menimbulkan multitafsir yang salah dari para penguasa. Menurut Arbi Sanit ada beberapa hal yang perlu ditata ulang, antara lain : Pertama, reformasi untuk mewujudkan tujuan negara yaitu kemakmuran dan penerapan kembali kehidupan yang dilandasi demokrasi. Kedua, kaitanya dengan ideologi Pancasila harus lebih diarahkan pada kondisi bangsa sekarang seperti halnya nilai-nilai universal tentang HAM dan sebagainya, namun semua itu bukanlah sebuah simbol tanpa adanya penerapan dalam kehidupan sehari-hari. Ketiga, mempertegas tatanan kekuasaan berdasarkan perimbangan kekuatan, pemisahan dan pembagian kekuasaan, pembatasan serta pengawasan kekuasaan. Keempat, diperlukan TAP MPR yang mengatur secara jelas tentang hak kekuasaan dari penguasa dan batas-batasnya serta menganti pasal yang secara tersamar atau terang-terangan menghambat jalanya demokrasi.
Menurut Moh Mahfud ada beberapa materi yang perlu diamandeman, antara lain. Pertama, keanggotaan MPR sebaiknya hanya terdiri dari dua golongan yaitu perwakilan politik dalam hal ini DPR dan perwakilan teritorial atau utusan daerah dan tidak perlu adanya utusan golongan yang dapat menimbulkan kerancuan karena mungkin terdiri dari golongan profesi yang berbeda. Kedua, pengurangan hak prerogatif presiden yang terlalu besar dijadikan UU. Ketiga, pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden, dalam hal ini Tap MPR No XIII tahun 1998 yang merekomendasikan jabatan presiden dan wapres selama 10 tahun atau dua periode sebaiknya dimasukan di dalam batang tubuh UUD 1945. Keempat, kebebasan kekuasaan badan kehakiman dalam menentukan segala tindakanya tanpa adanya campur tangan pihak lain harus dicantumkan di dalam UUD. Kelima, meminimalkan atribusi kewenangan kepada lembaga legislatif (presiden dan DPR) untuk mengatur hal-hal yang sangat fundamental dengan UU.
Keinginan untuk perjuangan untuk tegaknya hukum dan pengakuan serta perlindungan terhadap hak sasi manusia dan keinginan untuk emberikan perhatian yang lebih besar kepada daerah-daerah juga begitu menguat, sehingga kewenangan-kewenganan pemerintah daerah juga perlu diperkuat, yang tujuannya untuk mencegah disintegrasi. Pada akhirnya keinginan yang teguh untuk membangun kesejahteraan rakyat yang telah lama menajdi harapan terasa demikian menguat pada era reformasi ini. Itulah antara lain, latar belakang keinginan dan aspirasi yang mengiringgi perubahan UUD 1945. Namun perubahan itu dilaksanakan oleh MPR hasil pemilu 1999, yang diikuti oleh partai-partai politik baik partai lama maupun baru, yang kenyataanya tidak meghasilka kekuatan mayoritas. Dalam situasi ini dapat dipahami bahwa perumusan pasal-pasal perubahan penuh dengan kompromi-kompromi politik, yang tidak selalu mudah dipahami dari sudut pandang hokum tata negara. Proses perubahan ini dipersiapkan oleh panitia ad hoc MPR yang mencermikan kkuatan fraksifraksi yang ada di dalamnya. Akhirnya terjadilah empat kali perubahan dalam bentuk penambahan dan penghapusan ayat-ayat, namun secara keseluruhan tetap terdiri atas 37 pasal yang secara keseluruhan ternyata lebih banyak materi muatannya dari naskah sebelum dilakukan perubahan.
Undang Undang Dasar 1945 amandemen secara runtut terdiri dari Pembukaan, pasal-pasal, 21 bab, 73 pasal, 170 ayat, 3 pasal aturan peralihan dan 2 pasal aturan tambahan yang melalui 4 (empat) kali perubahan yaitu perubahan pertama tahun 1999, perubahan kedua tahun 2000, perubahan ketiga tahun 2001 dan perubahan keempat tahun 2002. Meskipun terjadi empat kali perubahan, namun semua fraksi yang sejak awal telah menyepakati untuk tidak mengubah UUD 1945. Dengan demikian pemikiran-pemikiran dasar bernegara sebagaimana termaktub didalamnya, tetap seperti semula. Namun implementasi pemikiran-pemikiran dasar itu ke dalam struktur ketatanegaraan memang cukup besar. Kesepakatan untuk tidak mengubah pembukaan ini, memnag menunjukkan keinginan fraksi-fraksi untuk menghindari perdebatan yang bersifat filsafat dan ideology, yang nampaknya memetik pelajaran dari sejarah perdebatan, baik dalam proses penyusunan UUD 1945 di masa pendudukan Jepang maupun perdebatan-perdebata yang sama di konstituante. Dua fraksi, yaitu fraksi Persatuan Pembangunan dan Fraksi Bulan Bintang memang mengusulkan perubahan ketentuan pasal 29 ayat 2 UUD 1945 sebagaimana teks piagam Jakarta, khusus yang berkaitan dengan syariah Islam. Namun perubahan ini tidak mereka tujukan kepada pembukaan sebagaimana kedudukan awal dari paiagam Jakarta. Usul perubahan ini kemudian mereka tarik kemungkinan gagal memperoleh kesepakatan. Fraksi PBB menegaskan bahwa mereka menunda memperjuangkan amandemen pasal 29 itu sampai tiba saat yang memungkinkan untuk memperjuangkannya.

Contoh Perubahan (Amandemen) UUD 1945:

LAMA (Sebelum Amandemen)
BAB I
BENTUK DAN KEDAULATAN
Pasal 1
(1) Negara Indonesia adalah Negara kesatuan, yang berbentuk Republik.
(2) Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyarawatan Rakyat.

BAB II
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT
Pasal 2
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota. Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.
(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam tahun di ibukota negara.
(3) Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara terbanyak.

BARU (Setelah Amandemen)
BAB I
BENTUK DAN KEDAULATAN
Pasal 1
(1) Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik.
(2) Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar (3 kali perubahan).
(3) Negara Indonesia adalah negara hukum (3 kali perubahan).

BAB II
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT
Pasal 2
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang (4 kali perubahan).
(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota Negara.
(3) Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditepkan dengan suara terbanyak.

SIMPULAN
Undang Undang Dasar 1945 dibuat dalam waktu yang singkat dan masih terdapat unsur-unsur yang memungkinkan terjadinya penyalahgunaan wewenang dari isi pasal-pasalnya. Oleh karena itu sesuai dengan isi pasal 37 UUD 1945, maka sangat dimungkinkan dilakukan perubahan untuk menyempurnakannya. Perubahan atau amandemen ini menyangkut aspek-aspek pital dan mendasar dalam Batang Tubuh UUD 1945 dan sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.


DAFTAR RUJUKAN

Feith, Herbert. 1962. The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, Ithaca New York: Cornel University Press.

Gaffar, Afan. 2000. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Purwastuti, Adriani. 2004. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: UNY Press.
Soegeng, A.Y.2002. Memahami Sejarah Bangsa Indonesia. Salatiga: Widya Sari Press.

Majelis Permusyarawatan Rakyat Republik Indonesia. 2006. Materi Sosialiasi Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sekretariat Jenderal MPR RI.

Majelis Permusyarawatan Rakyat Republik Indonesia. 2006. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sekretariat Jenderal MPR RI.

SILANG BUDAYA SENI JANGER BANYUWANGI SEBAGAI BENTUK KERAGAMAN BUDAYA BANGSA INDONESIA

A. PENDAHULUAN
Dalam rangka memasuki era globalisasi dan modernisasi teknologi informasi dewasa ini, keragaman budaya bangsa Indonesia bukan saja dilihat sebagai aset dan investasi kebudayaan di masa depan yang menjadi kekayaan bangsa melainkan merupakan wadah untuk mempererat dan menghubungkan khasanah perbedaan dan keragaman tersebut. Oleh karena bangsa Indonesia memiliki berbagai keragaman suku, penduduk, adat istiadat, tradisi, bahasa dan kebudayaannya. Dengan demikian melalui seni janger Banyuwangi ini dapat dijadikan sebagai salah satu bentuk budaya yang dapat menyamakan dan menyatukan dua karakter budaya yang berbeda dalam satu wujud seni. Kedua karakter budaya yang disatukan dalam wujud seni tersebut adalah karakter seni budaya Bali dan Jawa yang kemudian diramu dalam bentuk seni pertunjukan yang sangat meriah dan nyaman untuk ditonton.
Keberagaman budaya ataupun tradisi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sebagaimana telah disebutkan di atas, senantiasa dapat menumbuhkan nilai cipta, rasa dan karsa serta aspek rohaniah seluruh masyarakat dalam upaya untuk mempengaruhi dan menanamkan sebuah pemahaman terhadap bentuk dan makna dari budaya yang dimilikinya. Pemahaman aspek kebudayaan dan psikologi masyarakat dan kaitannya dengan pertalian dua karakter budaya yang berbeda tadi perlu diajarkan dan diperkenalkan kepada masyarakat secara lebih luas bukan hanya di Indonesia tepai juga sampai ke manca negara.
Pendekatan silang budaya merupakan suatu cara pemahaman budaya sebagai keseluruhan hasil respons kelompok manusia terhadap lingkungan dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan pencapaian tujuan setelah melalui rentangan proses interaksi sosial. Pokok-pokok yang terpenting adalah kebutuhan dan tujuan mempelajari budaya, lingkungan target budaya, dan interaksi sosial yang diinginkan. Dasar pemahaman yang digunakan adalah masing-masing sub entitas budaya itu mewarisi pikiran, perasaan, makna , tanda budaya dan simbol-simbol yang ada. Secara spesifik keadaan sosial budaya Indonesia sangat kompleks, mengingat penduduk Indonesia kurang lebih sudah di atas 200 juta dalam 30 kesatuan suku bangsa.
Masalah silang budaya tidak hanya sekedar berupaya melihat dari konteks karakter budaya, tetapi sebagai bentuk ekspresi nurani masyarakat Indonesia yaitu hakikat pola hidup dalam keragaman. Pada dasarnya budaya atau tradisi yang ada dalam lapisan masyarakat Indonesia memiliki “roh, jiwa dan semangat” pluralistik yang harus dipakai melalui ekspresi bentuk dan isinya. Kemajemukan masyarakat Indonesia merupakan suatu kenyataan yang dalam tataran pengakuan budaya masing-masing daerah dapat disinergikan dengan kepentingan yang lain, misalnya kepentingan sosial, ekonomi dan keagamaan. Dengan demikian melalui pendekatan silang budaya masyarakat Indonesia dapat diajarkan dari tataran formal ke tataran substansial. Pemahaman atas kenyataan pluralistik budaya Indonesia inilah sangat dimungkinkan adanya usaha membangun pola hubungan budaya manusia dan masyarakat yang multidimensional ini diawali dengan perpaduan system atau karakter budaya yang berbeda dalam bentuk seni.


B. PERMASALAHAN
1. Bagaimanakah latar belakang munculnya seni Janger Banyuwangi?
2. Bagaimanakah bentuk-bentuk silang budaya dalam seni janger Banyuwangi?
3. Bagaimanakah akses seni janger Banyuwangi terhadap masyarakat pendukungnya?

C. PEMBAHASAN
Sebagai wujud dari keragaman budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia dapat tercermin untuk mendapat gambaran tentang seni janger banyuwangi sebagai salah satu bentuk aplikasi silang budaya, maka dapat dipapar pada bagian pembahasan dari beberapa pokok permasalahan dalam makalah ini, antara lain :

1. Latar belakang munculnya seni janger Banyuwangi.
Dalam nuansa keragaman budaya bangsa Indonesia, silang budaya yang terdapat dalam seni janger Banyuwangi dapat terungkap lewat bahasa atau penuturan yang digunakan antara lain bahasa Jawa dan Using, musik yang merupakan perpaduan antara musik tradisional Bali, Jawa dan Using, busana yang dipakai juga merupakan perpaduan busana Bali dan Jawa, dan termasuk pula gerak tari. Bahkan untuk grup Janger tertentu anggotanya juga terdiri atas orang-orang dari etnis Bali, Jawa, dan Using. Penggunaan berbagai budaya yang berasal dari berbagai etnis tersebut merupakan suatu bentuk kerja kreatif dalam upaya pemerataan tradisi serta pencarian estetika baru dalam seni pertunjukan janger selain sebagai sebuah keniscayaan karena adanya dialog budaya mengingat posisi geografis Banyuwangi dan Bali berada di silang budaya.
Sebuah kemestian dengan menggunakan bahasa Jawa dan Using serta dipadukannya kostum, cerita, serta musik dari Jawa dan Bali, maka Janger mampu menyatukan dua karakter budaya yang berbeda yakni budaya Jawa dan Bali sehingga masyarakatnya bisa saling menghargai dan menghormati budaya-budaya tersebut. Selain itu, perpaduan dari berbagai multikultural tersebut malahirkan bentuk seni yang khas, unik, dan estetik. Dari aspek ekspresi, nilai-nilai yang ada dalam wacana seni janger tersebut disampaikan dengan menggunakan media tertentu yang mempunyai bentuk khas yang berbeda dengan seni budaya lainnya. Melihat keberadaan seni janger tersebut maka secara substansial wacana seni janger agak sedikit berbeda dengan seni budaya lainnya. Sedangkan secara ekspresif, seni Janger juga berbeda dengan seni budaya lainnya. Karena itu, seni janger dapat digunakan sebagai salah satu alat untuk menyatukan dan mempererat dua karakter budaya yang berbeda.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka untuk memperkenalkan seni janger supaya lebih memasyarakat, salah satunya dapat dilakukan dengan memasukkannya dalam kurikulum muatan lokal sebagai salah satu materi pembelajaran bahasa yang mencakup kosakata, berbicara, dan menulis karangan. Dalam hal ini, Seni janger dijadikan sebagai model pembelajaran bahasa yang alami. Pembelajar dibawa ke dunia yang senyatanya sehingga bahasa/teks tidak kehilangan konteks dan ko-teksnya. Sedangkan langkah-langkah pembelajarannya sesuai dengan proses belajar sosial yang mencakup atensi, retensi, produksi motorik, motivasi, serta komponen untuk pembelajaran budi pekerti yakni diskusi.
John Storey (1993 : 40) menuturkan bahwa hal yang menarik dari sebuah kebudayaan daerah adalah perhatian pada kebudayaan yang mengalami persilangan, dimana kebudayaan itu berlangsung dalam waktu dan masyarakat yang sama tetapi ekologi berbeda dan kebudayaan itu dipertahankan dan dikembangkan oleh masyakat pendukunngnya. Sebuah kemestian dalam perkembangan seni pertunjukan di Indonesia telah banyak terjadi hubungan lintas budaya antar suku-suku bangsa yang ada. Para seniman yang melakukan aktivitas budaya pada dasarnya telah mempunyai kesiapan untuk membuka diri dan menyibak sumber-sumber baru di hadapannya merupakan suatu misteri atau pun tantangan. Sikap dasarnya telah siap untuk menerima situasi multikultural sebagai suatu kenyataan yang dapat berolah di dalam dirinya (Sedyawati, 1999).
Demikian pula, dalam menghadapi dan memahami lebih dari satu kebudayaan milik orang lain, seniman memiliki kebebasan untuk memilih dan selanjutnya mengartikulasikan sesuai dengan pola dan daya ungkap yang dimiliki. Seni janger Banyuwangi sebagai salah satu bentuk seni pertunjukan yang berada dalam kawasan silang budaya Bali, Jawa dan Using. Dialog antar budaya dari ketiga etnis tersebut berlangsung secara mendalam, akrab, dan intensif. Melalui genius-genius lokal, ketiga budaya tersebut dapat dikreasikan menjadi sebuah performance yang khas. Silang budaya dari beberapa etnis tersebut dalam seni pertunjukan janger Banyuwangi dapat diamati pada tataran verbal dan nonverbal. Pada tataran verbal silang budaya tersebut tampak dengan pemanfaatan penggunaan bahasa Jawa dan Using. Sedangkan silang budaya pada tataran nonverbal tampak pada musik atau gamelan, kostum, dan stilisasi gerak tari. Seni janger Banyuwangi salah satu seni rakyat atau folklor merupakan bagian dari budaya yang dalam penampilannya menggunakan media bahasa. Sehingga budaya yang berinteraksi di dalam seni atau yang berdialektis tersebut akan tampak pada bahasa yang digunakan. Seperti dikemukakan oleh Hymes bahwa bahasa dan folklor merupakan aspek-aspek budaya yang secara otomatis menjadi bagian dari faktor-faktor dalam kehidupan masyarakat pedukungnya (Hymes, 1973: 128).
Selanjutnya dikemukakan pula bahwa bahasa merupakan tubuh dari folklor. Berbicara mengenai folklor atau seni rakyat tidak dapat melepaskan diri dari bahasa. Sehingga Hymes menyatakan bahwa folklor merupakan salah satu sarana atau objek penelitian bahasa dalam kaitannya dengan sosial masyarakatnya (Hymes, 1973: 132). Berangkat dari pemikiran di atas maka dapat dikatakan bahwa bahasa yang digunakan dalam seni janger Banyuwangi mencerminkan budaya yang berinteraksi di dalamnya. Budaya yang secara bersama-sama bersentuhan dan membentuk seni janger. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa multilingual dalam seni janger mencerminkan adanya multicultural yang beranekaragam di dalamnya. Sebagai sebuah folklore seni tradisional janger Banyuwangi terbentuk dari berbagai kultur masyarakatnya. Masyarakat yang melatar belakangi kehidupan janger tersebut mencakup berbagai etnis dan budaya antara lain masyarakat Jawa, Bali dan Using. Masing-masing budaya etnis tersebut berinteraksi dan mewarnai kehidupan seni janger Banyuwangi.

2. Bentuk-bentuk silang budaya dalam seni janger Banyuwangi.
Bentuk silang budaya dalam seni janger Banyuwangi merupakan multilingual dapat pula mencerminkan adanya dialektis antar budaya. Hal ini menunjukkan bahwa ia mengandung dua budaya atau lebih yang saling berinteraksi dan bersentuhan di dalamnya. Di sisi lain dapat juga berarti bahwa penyerapan budaya diikuti dengan penyerapan bahasa, karena bahasa merupakan bagian dari kebudayaan dan sekaligus sebagai wahana untuk menyatakan budaya. Seni janger Banyuwangi sebagai suatu bentuk seni yang berada di tengah-tengah multikultural dari masyarakat yang multi etnis menggunakan sarana komunikasi multilingual. Bahasa sebagai sarana komunikasi antara pemain dengan penonton harus berada dalam suatu idiom yang dapat dipahami, dimengerti dan tidak teralienasi. Jika idiom ini dlilanggar akan terjadi jarak atau pertentangan antara pemain dengan penonton dan terjadi alienasi. Oleh karena itu, penggunaan multilingual merupakan suatu mediator bagi seni janger Banyuwangi yang berada di tengah-tengah masyarakat multikultural.
Seni janger Banyuwangi merupakan salah satu bentuk seni rakyat atau sering disebut dengan folklore cenderung menggunakan media multilingual. Penggunaan media multilingual tersebut tidak dapat dilepaskan dari latar belakang masyarakatnya. Masyarakat Banyuwangi merupakan masyarakat yang multi etnis yakni masyarakat Jawa, Bali dan Using serta Madura. Keberadaan masyarakat dengan latar belakang kultur yang berbeda tersebut teraplikasikan dalam pemakaian bahasa dalam pertunjukan seni janger. Misalnya dalam penggunaan bahasa Jawa. Penggunaan bahasa Jawa dalam pertunjukan seni janger dapat dilihat pada aspek pedalangan dan dialog. Adapun penggunaan bahasa Jawa pada aspek pedalangan dalam pertunjukan seni janger dapat dilihat pada wacana berikut : “Hong wilaheng astuhu Brahmana, sidem myak mendhung abendanu. Dirgahayu. Ing jagat kulon mega malang, ing jagat wetan kawistara abang maya-maya mratandani sang bagaswara arsa nyuminari marang tribahwana. Tri wis karane telu. Bahwana jagat. Kang gumelar ing kaloka, ya dwi loka, kawastanan triloka. Ya daya pepadang kang saged mahanane sumbere panguripan. Awang-awang panguripane iber-iber, andene tirta panguripane mina. Ya panguripane jalma manusa, sanajan ta kutu-kutu walang adoga, ya jim setan pri prayangan, ilu-ilu banaspati, gendruwo bali praja ana ing bahwana. Sedaya kala wau tansah ngantru marang soroting sang hyang Bagaspati, ya sang hyang Batara Surya. Surupe sang hyang Batara Surya, bahwana dadi peteng ndhedhet. Laline anuwuhaken reeeep sirep, data pitana”

Terjemahannya :
“Hong wilaheng astuhu “menghaturkan sembah” kepada Brahmana/dewa Brahma sang pencipta, kesunyian menyingkirkan awan yang bergelayut. Dirgahayu selamat dan sejahtera. Di langit barat awan melintang, di langit timur kelihatan sinar kemerahan sebagai tanda matahari hendak menyinari tiga dunia atau bumi. Tri berarti tiga. Bahwana berarti dunia. Yang tergelar di kaloka, dwi loka, dan triloka. Ya sinar yang dapat menjadi sumber kehidupan. Dirgantara tempat hidup hewan-hewan yang terbang, sedankan air tempat hidup ikan. Tempat hidup umat manusia, serta hewan-hewan yang lain. Tempat hidup jin, setan priprayangan, ilmu-ilmu banaspati, gendruwo, dan makhluk halus lainnya kembali ke dunianya. Semua makhluk itu senantiasa menanti sinar sang hyang Bagaswara atau matahari, ya sang hyang betara Surya. Pudarnya sinar matahari atau sang hyang betara Surya dunia menjadi gelap gulita. Yang dapat melahirkan kesunyian, dan petaka”.
Dalam wacana di atas merupakan narasi pembukaan dari pertunjukkan seni janger yang berupa suluk. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa dan bukan merupakan bahasa sehari-hari. Orang-orang Jawa menyebutnya dengan “bahasa suluk” yakni bahasa yang biasa digunakan dalam kaitannya dengan acara ritual tertentu. Jika diilhami secara mendalam, maka isi dari suluk tersebut di atas sesungguhnya merupakan permohonan kepada yang Maha Esa agar pertunjukkan yang akan dilaksanakan terhindar dari bencana dan marabahaya yang tidak diinginkan. Bencana tersebut dapat berupa sesuatu yang kasat mata maupun yang tidak kasat mata. Sehingga suluk tersebut berfungsi sebagai mantra (dalam pandangan orang Jawa) untuk menolak bala atau bahaya yang mengacam.Selain itu isi suluk tersebut merupakan perwujudan dari sinkritisme Hindu Jawa dan Islam. Dalam masyarakat Jawa sinkritisme tersebut tumbuh subur dalam masyarakat abangan ( Geertz, 1985 : 37).
Selain itu janger juga merupakan seni yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat abangan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan bahasa, pemilihan kata, dan idiom merepresentasikan sikap batin dan kultur masyarakatnya. Dalam pelaksanaan pertunjukan sinkritisme tersebut muncul ketika mereka akan memulai pertunjukan. Salah seorang yang dipercaya sebagai pejangkung menghaturkan sesaji, membakar dupa atau kemenyan. Doa-doa yang mereka ucapkan dalam bahasa Arab dan Jawa. Bahasa Arab merupakan refleksi dari agama yang mereka anut yakni Islam sedangkan bahasa Jawa merupakan refleksi dari kepercayaan yang diwarisi dari nenek moyangnya. Dewa Brahma merupakan sang pencipta, sang seniman dapat mempergelarkan karyanya juga berperan sebagai pencipta. Sehingga perlindungan yang disampaikan tersebut merupakan permohonan terhadap Sang Pencipta. Sebagai seniman yang menggelarkan karyanya di hadapan penonton maka ia akan berusaha untuk menyajikan tontonan yang indah, menarik, dan bermanfaat. Dalam konsep keindahan Jawa disebut apik atau baik dan becik atau bermanfaat. Dalam kaitannya dengan seni pedalangan dalam pertunjukan janger Banyuwangi, semua dikemukakan dalam bahasa Jawa, sedangkan dalam dialog dan lawak digunakan bahasa Jawa dan bahasa Using.
Bahasa Jawa yang digunakan dalam dialog merupakan bahasa Jawa sehari-hari. Dalam hal ini, tampak dapat diamati penggunaan etiket berbahasa sesuai dengan kultur yang melatari. Pemakaian tata krama berbahasa memegang peranan yang sangat penting. Sebagai contoh; Urubisma sebagai Raja atau Adipati di Blambangan ketika berbicara dengan bawahannya maka ia menggunakan bahasa Jawa kasar atau ngoko. Sebaliknya Angkat Buta sebagai panglima perang yang merupakan bawahan dari Urubisma menggunakan bahasa Jawa halus atau krama. Adanya etiket berbahasa tersebut memaksa penutur untuk memilih idiom atau diksi yang sesuai dengan konteks pembicaraan. Dengan demikian, dialog dalam seni janger itu pun tidak lepas dari norma penggunaan bahasa yang berlaku di dalam masyarakat yang melingkupinya. Pemilihan bahasa Jawa dalam pertunjukan ini juga tidak lepas dari masyarakat penontonnya. Sebagian penonton seni janger adalah masyarakat yang berasal etnis Jawa. Dengan digunakannya bahasa Jawa sebagai sarana komunikasi maka ia terhindar dari alienasi dengan penontonnya. Terlepas dari pandangan tersebut berarti pemilihan bahasa merupakan sarana untuk mendekatkan diri antara pertunjukan dengan masyarakat penggemarnya.
Penggunaan bahasa Using oleh sebagian pengamat dikatakan sebagai dialek dari bahasa Jawa. Akan tetapi bagi masyarakat Banyuwangi bahasa Using merupakan bahasa tersendiri, dalam arti ia bukan merupakan dialek bahasa Jawa. Oleh karena itu, orang Banyuwangi menyebutnya dengan bahasa Using. Ciri penanda penggunaan bahasa Using terdapat pada logat berbahasanya, dimana ada perberbeda dengan dialek bahasa Jawa yang lain. Penggunaan bahasa Using dalam pertunjukan seni janger Banyuwangi terdapat latar belakang sosial tertentu. Hal ini mengingat sebagian besar masyarakat Banyuwangi adalah orang Using. Penggunaan bahasa Using juga merupakan upaya mendekatkan diri dengan penonton. Sehingga tidak terjadi jarak antara pemain dengan penonton, dengan demikian ada rasa empati dan simpati penonton terhadap pertunjukan Janger.
Penggunaan bahasa Using ini juga terjadi dalam adegan lawak. Keseluruhan adegan lawak menggunakan bahasa Using. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa Using merupakan media komunikasi yang akrab antara penonton dengan pemain. Dengan demikian, idiom-idiom yang dipilih dan ditawarkan pemain kepada penonton cepat ditangkap dan direspon, sehingga terjadi interrelasi antara pemain dengan penonton. Interrelasi ini sangat besar peranannya dalam pembentukan alur cerita dalam sastra lisan/tradisional. Berangkat dari pemikiran tersebut, maka dapat dikatakan bahwa alur cerita dalam sastra lisan terbentuk dalam interaksi antara penonton dengan pemain. Interrelasi maupun interaksi tersebut hanya bisa terjadi apabila bahasa yang digunakan berkomunikasi saling dipahami dan antara penonton dengan pemain berada dalam sebuah kultur yang sama.
Dilihat dari performancenya seni janger Banyuwangi memiliki bentuk yang khas, karena itu dapat diasumsikan bahwa seni janger Banyuwangi selain terbentuk dari seni pertunjukan yang multilingual juga multikultural. Hal ini dapat dilihat adanya dalang dalam pertunjukan. Seni janger Banyuwangi merupakan kesenian yang terbentuk dari transformasi wayang orang, kethoprak, dan Seni Bali. Unsur-unsur yang dimunculkan dari ketiga bentuk kesenian tersebut dapat dilihat berikut ini :

-Wayang Orang
Dalang (Suluk dan narasi)

-Kethoprak
1. Bahasa dan Tembang
2. Lakon dan cerita

-Seni Bali
1. Musik
2. Kostum
3. Stilisasi gerak

Ketiganya merupakan pelengkap pertunjukan Seni Janger

Perlu dipahami bawa dari ketiga unsur tersebut, aspek atau unsur yang paling berpengaruh dalam pembentukan wacana cerita adalah unsur dari wayang orang dan kethoprak, sedangkan seni Bali berpengaruh pada aspek teatrikalnya atau pementasannya yakni musik, kostum, dan gerak atau tari. Dengan adanya transformasi tersebut juga melahirkan bentuk wacana yang khas. Kekhasan bentuk seni janger, selain karena bahasanya juga adanya peran dalang. Peran dalang adalah untuk membawakan suluk sebagai pembuka cerita dan narasi di awal di setiap episode. Dalam pementasan seni janger disebut sebagai seni pedalangan. Baik suluk maupun narasi merupakan bagian integral dari cerita yang dipentaskan. Ditinjauari dari aspek sejarahnya dapat diasumsikan bahwa berbagai seni pertunjukan yang diasumsikan membentuk seni janger tersebut pernah tumbuh dan berkembang di Banyuwangi. Berbagai seni tersebut antara lain gambuh Bali, wayang orang, wayang kulit, kethoprak, dan ludruk. (Pigeaud, 1936; Brandon, 1974; Dinas Pariwisata Kab. Banyuwangi, 1996; Peni, 1998). Di sisi lain nama seni janger itupun juga merupakan metomorfose dari seni Damarwulan. Sedangkan seni Damarwulan itu sendiri oleh masyarakat Banyuwangi dianggap sebagai metamorfose dari seni Ande-ande Lumut, kethoprak, dan wayang (wawancara dengan beberapa tokoh Banyuwangi pada tahun 2000).
Suatu hal yang paling penting berkaitan dengan penggunaan bahasa Jawa maupun bahasa Using tersebut adalah sikap budaya. Sikap budaya ini berkaitan dengan tokoh legendari dari Blambangan yakni Minakjingga atau Urubisma. Bagi masyarakat Jawa yang terpengaruh oleh kerajaan Mataram, maka Minakjingga merupakan sosok pemberontak dan perongrong kedaulatan Majapahit. Ia digambarkan sebagai sosok yang culas, serakah, dan tidak tahu diri. Secara fisik Minakjingga digambarkan sebagai orang yang berkepala anjing, perut buncit, dan menggunakan klinthing di kaki. Semua penggambaran tersebut merupakan penghinaan terhadap sosok Minakjingga. Penggambaran sosok minakjingga semacam itu diaplikasikan dalam pemakaian bahasa Jawa. Pertunjukan seni janger yang dalam adegan Blambangan menggunakan bahasa Jawa maka ia akan menampilkan sosok Minakjingga dengan image dari kerajaan Mataram tersebut. Hal ini terjadi pada kelompok seni janger yang pemainnya berasal dari etnis Jawa.
Di lain pihak masyarakat Banyuwangi dan Using dalam memandang sosok Minakjingga merupakan seorang pahlawan. Bagi mereka Minakjingga adalah raja yang dihormati, dijunjung tinggi dan merupakan lambang dari kedaulatan Blambangan. Penggambaran sosok Minakjingga semacam ini tercermin dalam pemakaian bahasa Using. Pertunjukan seni janger yang menggunakan bahasa Using sebagai bahasa pengantar untuk adegan kerajaan Blambangan menganggap Minakjingga sebagai pahlawan mereka. Hal ini biasanya dilakukan oleh kelompok seni janger yang pemainnya adalah orang-orang Using itu sendiri. Penggunaan bahasa Using yang oleh banyak ahli sering dikatakan sebagai bahasa Jawa dialek Banyuwangi menunjukkan bahwa bahasa dalam cerita tradisional seni janger Banyuwangi digunakan untuk menuangkan budaya-budaya Jawa dan Using. Percampurab kedua budaya tersebut tampak pada digunakannya bentuk tembang Banyuwangian dalam seni janger Banyuwangi. Hal itu dapat dilihat pada contoh berikut; “Mandanea duh senenge urip nyandhing rika. Raina wengi sun kudang kendhang lagu kesenengan. Mendahnea kandhung maca isun nyandhing rika. Sun ngelasi, sun gedani, lan sun bela pati. Nyatane rika saiki wis nyandhing wong liya. Ati nisun kari nelangsa rika wis ngeliya. Mandanea kadhung paca isun nyandhing rika. Sun ngelasi, sun gedani, lan sun bela pati. Nyatane rika saiki wis nyandhing wong liya. Ati nisun kari nelangsa rika wis ngeliya. Mandanea kadhung paca isun nyandhing rika”.

3. Akses seni janger Banyuwangi terhadap masyarakat pendukungnya
Bagi masyarakat Banyuwangi dan Using, dikumandangkannya tembang Banyuwangian tersebut merupakan pengikat tradisi yang dapat menyatukan antara seni pentas dengan penontonnya. Sehingga penonton merasa ada ikatan batin dengan seni pentas janger Banyuwangi. Nilai rasa tembang tersebut akan berbeda jika penontonnya adalah masyarakat Jawa. Mereka akan merasakan suatu bentuk yang mungkin asing, terutama bagi masyarakat Jawa yang tinggal di luar Banyuwangi. Dari pembahasan di atas maka dapat dikatakan bahwa penggunaan multilingual dalam seni pertunjukan Janger Banyuwangi dipengaruhi penonton dan cerita yang dipentaskan.
Adapun bahasa yang dimaksudkan adalah bahasa atau dialek yang digunakan dalam pertunjukan seni janger Banyuwangi. Pemakaian bahasa tersebut dapat diklasifikasikan sesuai dengan jenis tuturannya. Sebab masing-masing tuturan tersebut menggunakan ragam bahasa yang berbeda. Bahasa sebagai bagian dari kebudayaan dan sebagai wahana untuk mengungkapkan budaya maka di dalamnya terdapat nilai-nilai budaya yang khas yang dimiliki masyarakatnya. Bahasa digunakan sebagai sarana untuk bertutur, berpikir, mengekspresikan gagasan serta untuk berinteraksi antar anggota masyarakat dan lingkungannya. Seperti dikemukakan oleh Briefly (dalam Howell, 1985 : 271) bahwa bahasa adalah hal yang paling utama digunakan sebagai media komunikasi dan kemudian sebagai wacana pokok yang memberikan informasi tentang budaya dan sosial.
Mengenai perbedaan bahasa pada diri seseorang disebabkan oleh adanya perbedaan pengalaman. Hal ini sesuai dengan hipotesis Fishman bahwa prilaku budaya dikondisikan oleh bahasa, sedangkan bahasa memiliki struktur karena itu kita dapat melihat hubungan antara struktur bahasa dengan struktur prilaku pemakai bahasa itu (Howell, 1985:274). Keseluruhan makna tingkah laku terepresentasikan seperti pada perilaku ujaran. Suatu komunikasi yang dilakukan lewat ujaran (secara lisan) dipengaruhi pada pemilihan kata, konstruksi gramatikal, dan kepaduan sintaksis dalam suatu kalimat.
Selanjutnya Sapir-Whorf menyatakan bahwa bahasa bukan hanya merupakan sarana sistematis yang bertugas menyampaikan berbagai pengalaman yang tampak relevan bagi individu, tetapi bahasa merupakan organisasi simbolik yang kreatif dan menentukan. Bahasa tidak hanya mengacu ke pengalaman yang telah diperoleh tanpa bantuan bahasa itu, tetapi membentuk pengalaman kita secara tidak disadari dengan kelengkapan formulanya. Dalam hal ini, bahasa menyerupai sistem matematika yang merekam pengalaman secara hakiki pada tahap awalnya, tetapi seirama dengan perkembangan waktu, menjadi sistem konseptual yang terjabar rinci dan menentukan semua pengalaman (Cahyono, 1995:420).
Clifford Geertz (dalam Casson, tt : 17) budaya merupakan sistem makna simbolik. Bahasa merupakan sistem semiotik yang berupa simbol yang berfungsi untuk komunikasi. Budaya merupakan simbol, bahasa juga berupa simbol yang mengungkap hubungan antara bentuk dan makna. Simbol merupakan sesuatu yang umum atau public. Anggota masyarakat dalam memahami obyek, tindakan dan peristiwa di lingkungannya terletak pada makna tanda secara individual dan sebagai milik masyarakat. Simbol tidak dapat berdiri sendiri lepas dari konteks masyarakat yang menghasilkannya. Dengan demikian, seni janger yang menggunakan media bahasa sebagai wahana untuk berekspresi juga bersifat simbolik. Selain itu, sifat seni itu sendiri simbolik, ambigu, multitafsir, berupa pasemon, dan idiosinkretik.
Kemudian dalam hubungan antara sastra/folklor dengan latar belakang masyarakatnya yang paling penting diperhatikan adalah kesimpulan yang dikemukakan oleh Grenstein bahwa sastra dapat mencerminkan perkembangan sosiologis atau menunjukkan perubahan-perubahan yang halus dalam watak kultural (Damono, 1979:3; Swingewood, 1972:12). Multilingual tersebut mencerminkan adanya multikultural yang berinteraksi di dalam masyarakat Banyuwangi. Dengan begitu, untuk dapat memahami seni janger diperlukan pemahaman tentang konteks budaya Banyuwangi. Hal itu karena bahasa yang digunakan dalam Janger merepresentasikan budaya yang ada di Banyuwangi. Selain itu, Janger merupakan perwujudan dari tindak penutur yang dibentuk oleh komponen yang berupa (1) aktor yaitu pelaku yang bertindak secara aktif dan kreatif, (2) tujuan yaitu orientasi tindakan yang terkandung dalam unit tindakan, (3) situasi yaitu keadaan yang menjadi latar belakang terjadinya tindakan, dan (4) norma dan nilai-nilai yaitu pesan yang ingin disampaikan penutur dengan menggunakan ujaran (Dimyati, 1988:34). Melihat keberadaan seni janger dan manfaat yang diharapkan dalam kaitannya dengan pembelajaran bahasa, maka seni janger dapat digunakan sebagai salah satu materi pembelajaran bahasa sebagaimana telah disebutkan di muka. Pemikiran tersebut didasarkan pada pandangan antropologis yang memandang pendidikan sebagai gejala sosial budaya. Dengan melalui proses sosialisasi, seorang individu menyusun pola-pola budaya yang berinteraksi dalam masyarakat sekelilingnya (Koentjaraningrat, 1986:229). Karena itu, dengan melalui pendidikan, pembelajar dapat mentransfer nilai yang ada dalam masyarakat untuk diinternalisasikan ke dalam dirinya sehingga pendidikan tidak bersifat dogmatik dan mekanik akan tetapi menjadi kreatif. Dengan demikian, para peserta didik dapat belajar secara otonomi dan independent (Gramsci, 2000:174).
Sebagai suatu realita sosial, seni janger dapat dikaji dari aspek isi dan ekspresi (Chatman, 1978). Dilihat dari aspek isi, seni janger mempunyai pesan berupa nilai-nilai yang terkait dengan silang budaya (Cross culture). Nilai silang budaya tersebut berkaitan dengan fungsi seni janger dalam menyatukan semua lapisan masyarakat. Dalam konteksnya yang alami, seni janger dapat digunakan sebagai media pembelajaran bahasa. Hal ini sejalan dengan pandangan Bandura (dalam Gredler, 1991:370) dalam teori belajar sosial bahwa belajar dapat dilakukan dalam latar yang wajar, khususnya hakikat belajar “vicarius” (Dahar, 1998:37). Dengan melihat perilaku para pemain dan reaksi yang diberikan penonton baik dalam bentuk cemoohan atau hukuman maupun pujian (reinforcement), siswa dapat meniru tindakan yang dilakukan pemain di atas pentas. Peran mendidik dengan cara di atas dapat menciptakan nilai-nilai fundamental humanistis sehingga tertanam disiplin diri secara intelektual dan kebebasan moral yang mampu mengembangkan spesialisasi watak ilmiah atau praktik-produktif (Gramsci, 2000:175).
Untuk menjadikan seni janger sebagai media pembelajaran bahasa, guru harus mampu mengaitkannya dengan kurikulum yang berlaku. Seperti dikatakan oleh Dubin dan Olstain (1986) dalam penyusunan dan penjabaran kurikulum menjadi silabus harus memperhatikan sifat bahasa, sifat belajar bahasa, dan filosofi kultural pendidikan. Seni janger tepat digunakan sebagai media pembelajaran bahasa dalam teori belajar sosial karena bahasa dalam wacana dalam seni janger dipandang sebagai ujaran yang bersifat alami. Selain itu, pembelajaran dengan media seni janger memungkinkan dilakukan dengan secara alami. Akan tetapi, kesulitan yang bisa dihadapi yaitu masih berkembangnya budaya pendidikan klasikal daripada alami di luar kelas. Seperti dikatakan oleh Krashen dan Selinger dalam Laser-Freeman dan Long (1991:25) ciri pembelajaran secara klasikal yaitu bahan diorganisasikan sesuai dengan kaidah-kaidah gramatikal sering disajikan satu kaidah dalam satu waktu dengan urutan penyajian yang ketat dan guru siap untuk membetulkan bentuk-bentuk kesalahan gramatikal yang dilakukan siswa, sedangkan ciri pembelajaran secara alami yaitu bahan disajikan secara komunikatif tidak terikat oleh kaidah-kaidah gramatikal secara ketat dan tidak ada aturan urutan penyajian dan kalau ada pembetulan kesalahan. Pembetulannya difokuskan pada makna pesan yang dikomunikasikan. Untuk mengatasi hal tersebut, salah satu alternatif yang bisa dilakukan adalah penggabungan antara sistem klasikal dan sistem alami. Hal ini karena kedua sistem pembelajaran tersebut mempunyai ciri sendiri-sendiri yang kalau digabungkan akan dapat menjadi pembelajaran yang baik.
Selain sebagai medium pembelajaran bahasa dampak penyerta atau nuturant effects dari pembelajaran bahasa dengan mengunakan media seni janger adalah seni janger memungkinkan untuk digunakan sebagai media pembelajaran budi pekerti karena menyangkut persoalan silang budaya. Caranya yaitu dengan jalan diintegrasikan dengan pembelajaran bahasa. Salah satu teknik yang digunakan guru dalam pembelajaran budi perkerti yaitu teknik diskusi agar pembelajar mampu menggali dan menginternalisasikan nilai-nilai yang ada dalam janger. Untuk menindaklanjuti penggabungan sistem pembelajaran tersebut, guru harus merinci dengan jelas tentang: (1) pengetahuan apakah yang diharapkan dicapai oleh pembelajar, (2) keterampilan berbahasa apakah yang pembelajar butuhkan pada masa mendatang, dan (3) teknik evaluasi apa yang digunakan untuk menilai hasil belajar? (Dubin dan Olshtain, 1991). Dari komponen-komponen tersebut dapat dirumuskan langkah-langkah pembelajaran sesuai dengan proses belajar sosial menurut Bandura.
Selanjutnya dalam memilih model, Grelder (1991:383) menunjukkan syarat-syarat agar model yang digunakan dalam pembelajaran harus menarik perhatian siswa. Oleh karena itu, seni janger Banyuwangi dapat dijadikan salah satu model pembelajaran karena (1) Janger merupakan kesenian yang sangat digemari oleh seluruh lapisan masyarakat Banyuwangi, (2) wacana dalam seni janger Banyuwangi sangat khas yaitu multilingual dan bentuk tuturannya beragam, (3) performance seni janger Banyuwangi yang multikultural merupakan sesuatu yang menarik bagi masyarakat, (4) pertunjukan seni janger di Banyuwangi hampir terjadi setiap malam kecuali pada bulan Ramadhan, dan (5) upaya pelestarian dan peningkatan kualitas pertunjukan terus dilakukan oleh sebagian besar perkumpulan seni janger Banyuwangi sebagai wujud dari silang budaya.

D. KESIMPULAN
Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa cerita tradisional rakyat tentang seni janger Banyuwangi menggunakan bahasa Jawa dalam suluk, narasi, dialog dan tembang serta bahasa Using dalam nyanyian, dialog, dan lawaknya. Kemudian menggunakan unsur teatrikalnya dengan yang diadopsi dari budaya Bali yang meliputi musik, kostum dan tari. Digunakannya berbagai unsur budaya tersebut menunjukkan bahwa budaya Jawa, Bali dan Using dijunjung tinggi dan dihormati dalam kehidupan masyarakat Banyuwangi.
Selanjutnya dalam masyarakat Banyuwangi terjadi perpaduan budaya yang sangat harmonis. Hal itu terlihat digunakannya bahasa Jawa dan Using dalam komunikasi serta diserapnya unsur-unsur budaya Bali dalam pertunjukan seni janger. Bahasa yang digunakan dalam pertunjukan seni janger Banyuwangi dapat digunakan sebagai media atau model pembelajaran bahasa bagi masyarakat Banyuwangi, karena bahasa yang digunakan dalam seni janger dapat dianggap sebagai salah satu model penggunaan bahasa secara alami. Namun dalam pemanfaatan bahasa tersebut sebagai model pembelajaran di sekolah perlu memperhatikan kurikulum yang berlaku.



DAFTAR PUSTAKA

Berger, A.A, 1984, Signs in Contemporary Culture: An Introduction to Semiotics, USA: Longman.

Brandon, James R, 1974, Theatre In Southeast Asia, Cambridge : Harvard University Press.
Casson. R.W, Tt.: Language, Culture, and Cognition Anthropological Perspectives, New York : Macmillan Publishing Co.

Cahyono, Bambang Yudi, 1995, Kristal-kristal Ilmu Bahas, Surabaya: Airlangga University Press.

Darmono, S.Dj, 1979, Novel Sastra Indonesia Sebelum Perang, Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa – Depdikbud.

Dimyati, M, 1988, Landasan Pendidikan :Suatu Pengantar Pemikiran Keilmuan tentang Kegiatan Pendidikan, Jakarta : Depdikbud Dirjen Dikti.

Dubin, F dan Elite Olshtain, 1986, Course Design: Developing Programs and Material for Language Learning. Cambridge: Cambridge University Press.

Gredler, M.E.B, 1991, Belajar dan Membelajarkan, Jakarta : Rajawali Pers.

Gramsci, A, 2000, Sejarah dan Budaya Surabaya: Pustaka Promethea.

Hymes, D, 1973, Foundations in Sociolinguistics: An Ethnographic Approach. Philadelphia : University of Pennsylvania Press.

Howell, Richard W, 1985, Language in Behavior, New York : Human Sciences Press.

Larsen-Freeman, D dan Michael H. Long, 1991. An Introduction Second Language Acquisition Researh, New York : Longman.

Peni Puspito. 1998. Damarwulan Seni Pertunjukan Rakyat di Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur di Akhir Abad ke-20. Tesis: Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada.

Rehzen, T dkk (Dewan Redaksi), 1999, Keragaman dan Silang Budaya Dialog Art Summit. Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia Th. IX-1998/1999.

Sedyawati, Edi. 1999, Multikultural dalam Ranah Tatap Muka dan Perantaraan Media. Makalah Seminar MSPI di Bali 1999.

Storey, John. 1993, Cultural Theory and Popular Culture: Harvester Wheatsheaf Campus 400.

Swingwood, Alan dan Diana Laurenson, 1972, The Sosiologi of Literature. London: Paladin.

Wahyuni, Lilik, 2001, Struktur Wacana Cerita Lisan dalam Janger Banyuwangi. Tesis: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang.

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DI VIETNAM

A. Pendahuluan
Dalam perjalanan sejarah berdirinya Negara Vietnam dari sejak awal kemerdekaan sampai dengan sekarang ini telah mengalami perkembangan yang cukup signifikan di berbagai bidang, termasuk di bidang pendidikan. Negara Vietnam telah dijajah pertama oleh Prancis dan kedua oleh Amerika Serikat, kemudian Negara Vietnam memperoleh kemerdekaannnya secara mutlak pada tanggal 30 April 1975. Dibandingkan dengan negara-negara lain yang ada di Asia Tenggara dan ASEAN, Vietnam yang memperoleh kemerdekaan yang boleh dikatakan relatif baru tentunya berpengaruh kepada aspek perkembangan pendidikan. Namun demikian sejak tahun 1986 pemerintah Vietnam telah membuat berbagai macam kebijakan untuk memacu pengembangan pendidikan melalui kebijakan kurikulum yang diberlakukan kepada semua jenjang pendidikan, baik dari tingkat pendidikan dasar (SD), tingkat pendidikan menengah (SMP dan SMA), maupun di tingkat pendidikan tinggi (Perguruan Tinggi) negeri dan swasta.
Melalui kebijakan pemerintah tersebut, dewasa ini di Vietnam telah mengalami pemerataan dan penyebaran pembangunan fisik sebagai wadah pendidikan sesuai jenjangnya, misalnya di setiap desa telah terdapat pendidikan dasar (SD), di setiap kecamatan terdapat beberapa SMP dan di setiap kabupaten terdapat beberapa SMA/SMK serta terdapat juga beberapa perguruan tinggi negeri dan swasta. Khusus untuk jenjang pendidikan tinggi (Perguruan Tinggi) saat ini di Vietnam terdapat 235 Perguruan Tinggi (universitas dan D3) negeri dan 77 Perguruan Tinggi (universitas dan D3) swasta yang tersebar di 40 Propinsi dari 63 Propinsi yang ada di Vietnam. Perkembangan pendidikan tinggi yang selalu mengacu kepada kurikulum pendidikan tinggi sangat baik, hal ini terlihat setelah terbukanya begitu banyak akses jaringan komunikasi antar perguruan tinggi termasuk kerjasama antar perguruan tinggi dalam hal peningkatan mutu dan kualitas sistem pengajaran (bahan ajar) dan kualitas lulusan. Kerjasasama dalam peningkatan mutu dan kualitas itu disamping dilakukan di dalam negeri juga dilakukan dengan perguruan tinggi lainnya yang ada di luar negeri.

B. Upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan
Dalam upaya meningkatkan mutu dan kualitas pendididakan di Vietnam, pemerintah melakukan berbagai upaya untuk ke arah itu, misalnya pemerintah membuka ruang kepada setiap jenjang pendidikan untuk mengembangkan potensinya masing-masing baik dari tingkat pendidikan dasar (SD) sampai pendidikan tinggi (Perguruan Tinggi). Khusus di perguruan tinggi melalaui kebijakan kurikulum memberikan kesempatan kepada para pengajar (dosen) dan mahasiswa untuk mengembangkan potensi dan keahlian sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya baik di bidang pengajaran, penelitian, maupun pengabdian pada masyarakat serta pemikiran mandiri dan menghormati perbedaan kepribadian. Selain itu, untuk meningkatkan kualitas pada aspek kognisi di setiap jenjang pendidikan, pemerintah melalui pengelola satuan/unit pendidikan memberikan bantuan dan perhatian yang khusus dalam hal pengembangan perpustakaan, kurikulum, dan metode pengajaran.
Seiring dengan hal tersebut di atas, pada tahun 2004 Menteri Pendidikan Nguyen Thien Nhan mengeluarkan keputusan tentang pengawasan kualitas pendidikan di tingkat perguruan tinggi walaupun sampai sekarang ini pelaksaannya masih mengalami banyak kedala. Adapun kualitas pendidikan yang dimaksud adalah terpenuhinya beberapa syarat kualitas pembelajaran di sesuatu universitas dan tujuan tri dharma universitas yang sesuai dengan UU Pendidikan. Kualitas pendidikan di perguruan tinggi tersebut sangat diharapkan nantinya akan dapat menciptakan sumber daya manusia yang bermutu dan dapat terserap di semua lapangan pekerjaan, sehingga pembangunan sosial dan ekonomi serta seluruh aspek kehidupan baik lokal maupun nasional dapat segera terwujud. Konsep ini juga sangat terbuka, termasuk tujuan umum pendidikan, tujuan khusus pendidikan, dan proses untuk mencapai keberhasilan dari tujuan itu. Namun semua tujuan tersebut akan tercapai apabila di semua jenjang pendidikan harus benar-benar memperhatikan standar mutu pendidikan termasuk juga di tingkat perguruan tinggi sehingga dengan tercapainya mutu dan kualitas pendidikan, maka kualitas lulusanpun tercapai dan akhirnya terpenuhilah tujuan pendidikan nasional, harapan pemerintah/negara, dan keinginan masyarakat.
Prof. Dr. Ta Quang Buu, seorang ahli pendidikan di Vietnam mengatakan bahwa pada tingkat pendidikan dasar (SD) adalah waktu dan kesempatan yang paling baik untuk melestarikan dan menanamkan nilai identitas bangsa, sementara di tingkat perguruan tinggi adalah saat untuk mengembangkan kualitas generasi muda dalam rangka pembangunan negara dan pengintegrasian negara serta hubungan internasional. Di sisi lain, dapat difahami ketika melihat kondisi pendidikan di Vietnam, kualitas pendidikan belum sepenuhnya dapat memuaskan. Kualitas lulusan pendidikan di Vietnam belum bisa setara dengan kualitas lulusan pendidikan secara umum di dunia dan keberhasilan pendidikan belum menyeluruh. Pendidikan di Vietnam sedang menghadapi masalah yang besar yakni belum terpenuhinya sumber daya manusia yang berkualitas tinggi sementara dewasa ini di sector lain program pemerintah di Vietnam sedang aktif mendorong kemajuan bidang industralisasi, modernisasi negara, dan pengembangan ekonomi kawasan dan internasional.
Kendala yang dihadapi oleh dunia pendidikan di Vietnam misalnya metode pengajaran masih ditentukan oleh pusat. Dari masalah ini, muncul dampak yang tidak baiak bagi mahasiswa karena metode pengajarn itu belum memberikan stimulan bagi kemampuan daya nalar dan pemikiran mahasiswa. Akibatnya, setelah lulus mahasiswa sangat pasif dan tidak banyak bisa berbuat apa-apa dalam lapangan pekerjaan. Selain itu, mahasiswa diwajib belajar banyak mata kuliah yang tidak begitu bermanfaat bagi mahasiswa dalam mencapai keahliannya, seperti; Sejarah Partai Komunist Vietnam, Marxisme, Leninisme, Politik, dan Ekonomi sementara materi dalam mata kuliah ini membuang banyak waktu. Sekarang ini adalah era teknologi canggih, untuk kita harus dapat memanfaatkannya seoptimal mungkin. Para guru dan dosen harus mampu menyiapkan materi pelajaran dengan memnafaatkan media pembelajaran elektronik seperti CD dan VCD. Kondisi di Vietnam sekarang masih sedikit guru dan dosen dalam mengajar menggunakan media pengajaran tersebut dan masih banyak guru dan dosen dalam mengajar menggunakan metode ceramah, dikte kepada murid atau mahasiswa.
Berdasarkan beberapa masalah tersebut di atas, pemerintah menyadari perlu meningkatkan mutu pendidikan, sehingga jaminan mutu pendidikan adalah kunci untuk meningkatkan mutu pendidikan (Barrie & Brosser, 2003). Sejak tahun 2002, pemerintah (Depdiknas) Vietnam mulai merencanakan program pengontrolan dan pengawasan kualitas pendidikan di semua perguruan tinggi. Untuk mencapai tujuan itu, pada tanggal 01 November 2007 Depdiknas sudah mengeluarkan dengan resmi tentang Standar mengevaluasi Kualitas Pendidikan Perguruan tinggi. Standar tersebut adalah :
1. Visi dan misi universitas
2. Pengelolahan dan pengurusan universitas
3. Program pendidikan (Kurikulum)
4. Pelaksanaan pendidikan (pengajaran)
5. Sistem rekruitmen dan kualitas pegawai/dosen
6. Mahasiswa
7. Penelitian, penerapan teknologi
8. Kegiatan kerjasamaan internasional
9. Perputakaan, peralatan pendidikan dan sarana yang lain
10. Keuangan dan pengurusan keuangan
Adapun sistem pendidikan di Vietnam sekarang dipengaruhi oleh sistem pnedidikan Perancis. Mereka sudah menerapkan system itu misalnya; jenjang pendidikan, kurikulum, dan adanya pendidikan reguler dan non reguler (continuing pendidikan) untuk di SMP dan SMA/SMK. Jenjang pendidikan tersebut antara lain :
a. Sekolah Dasar: 5 tahun, semua anak berusia 6 tahun harus masuk SD dan biayanya ditanggung oleh pemerintah. Setiap propinsi adanya satu Sekolah Dasar Inti. Di sekolah ini adanya kelas bahasa Inggris. Siswa akan belajar bahasa Inggris dari kelas 1 dan harus dan untuk tingkat akhir mendapat seleksi atau ujian kelulusan.
b. Sekolah Menengah Pertama: 4 tahun, pada tingkat akhir siswa harus menempuh ujian nasional untuk mencapai kelulusannya. Untuk melanjutkan studi ke SMA/SMK, dahulu siswa SMP harus menempuh seleksi dalam bentuk ujian nasional, akan tetapi sekarang program itu tidak dilaksanakan lagi. Ketika masuk SMA/SMK siswa hanya dites secara formalitas saja.
c. Sekolah Menengah Atas: 3 tahun, pada tingkat akhir adanya ujian nasional. Apbila siswa tidak lulus, mereka tidak boleh mengikuti seleksi ujian masuk perguruan tinggi (universitas). Ujiannya adanya 6 mata pelajaran, dengan rincian : ada 3 yang fik yaitu: Kesusastraan, Matematika, Inggris dan ada 3 mata kuliah diganti setiap tahun dengan memilih tiga mata kuliah di antara: Sejarah, Geografi, Biologi, Fisik, dan Kimia.
d. Perguruan Tinggi: biasanya 4 tahun, calon mahasiswa akan menempuh ujian masuk perguruan tinggi (universitas) dan mereka mempunyai 3 pilihan. Hasil seleksi berdasarkan nilai ujian ini. Setiap perguruan tinggi (universitas) membuat soal ujian sendiri dan Depdiknas membuat satu jenis soal ujian untuk semua universitas dengan sistem pilihan ganda (A, B, C D) mulai tahun 2002.

C. Pengaruh koloni Perancis terhadap perkembangan pendidikan di Vietnam
Perkembangan sistem pendidikan di Vietnam sangat dipengaruhi oleh system pendidikan di Perancis, karena Vietnam dalam waktu yang cukup lama dijajah oleh negara Perancis. Kemajuan pendidikan di Vietnam sangat diperhatikan oleh pemerintah kolonial Perancis. Misalnya tulisan digunakan di sekolah waktu itu diganti dari bahasa Han menjadi Latin dan tulisan Perancis. Pemerintah sudah mendirikan pendidikan dengan sistem dari Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Tinggi sampai Perguruan Tinggi. Pendidikan dianggap sebagai alat yang penting untuk kolonial Perancis dengan mengolonialkan rakyat Vietnam. Mereka mendidikan kelompok cendekiawan untuk bekerja dalam lembaga pemerintah mereka dan perusahaan-perusahaan pada zaman itu. Pada tahun 1931 sampai tahun 1940, dari 100 orang hanya ada 3 orang masuk SD, dari 30.000 orang hanya ada 1 orang masuk perguruan tinggi. Meskipun mereka dapat pendidikan dari kolonial Perancis tetapi mereka masih menyadari akan nilai-nilai kebangsaaannya. Walaupun demikian adanya, akan tetapi banyak juga orang-orang dari golongan cendekiawan menjadi Komunist.

D. Kesimpulan
Secara umum dewasa ini Negara Vietnam sedang dalam masa berkembang di lihat dari segala sektor kehidupan atau dengan kata lain sedang membangun, termasuk juga pada sektor pendidikan. Sehingga pemerintah Vietnam berusaha dengan keras untuk mencapai tujuan itu. Masih banyak permasalahan yang dihadapi di dalam bidang pendidikan. Pemerintah dengan masyarakat Vietnam kerjasama memajukan dan mengembangkan pendidikan menuju kepada kualitas lebih tinggi sehingga setara dengan dunia internasional atau minimal dengan negara-negara di Asia Tenggara. Sangat di harapkan agar para lulusan SMA/SMK dan perguruan tinggi di Vietnam memiliki kualitas yang unggul dan dapat terserap pada setiap lapangan kerja yang tersedia di seluruh dunia internasional.
Untuk mencapai tujuan itu ada beberapa uapaya yang dilakukan oleh pemerintah Vietnam, antara lain; (1) memberikan pendidikan gratis di tingkat Pendidikan dasar (SD) dan tingkat pendidikan menegah (SMP), (2) menjamin mutu dan kualitas pendidikan di setiap jenjangnya, (3) mengembangkan system pendidikan di SMK, (4) melakukan kontrol dan pengawasan yang ketat terhadap kualitas pembelajaran mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai ke jenjang pendidikan tinggi, (5) meningkatkan kerjasama di kawasan vietnam dan di tingkat internasional, (6) mengirimkan mahasiswa yang potensial untuk belajar ke luar negeri melalui program Kemitraan Negara-negara Berkembang (KNB), dan (7) menggalakkan pembangunan fasilitas, sarana dan prasarana pendidikan. Kita semua mengharapkan agar masa depan pendidikan di Vietnam akan lebih baik dan negaranya akan semakin berkembang ke arah kemajuan.

SMK DAN PEMENUHAN TUNTUTAN LAPANGAN KERJA (Studi kasus di Kabupaten Sumbawa)

A. Pendahuluan
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan lembaga pendidikan formal yang diharapkan mampu menjadi jembatan penghubung antara tenaga kerja (siswa) dengan lapangan kerja. Meskipun proses belajar mengajar di SMK tidak berbeda jauh dengan SMA, akan tetapi proses pembelajaran di SMK lebih dititikberatkan pada penerapan teori-teori yang telah diberikan melalui kegiatan praktikum. Dalam hal ini, pemerintah daerah kabupaten Sumbawa melalui dinas pendidikan sangat mendukung keberadaan SMK dengan mengadakan fasilitas yang lengkap dan memadai untuk meningkatkan minat belajar siswa-siswi. Selain itu, banyaknya praktik yang memberikan bekal kepada siswa dengan keterampilan yang sesuai tuntutan dunia dan lapangan kerja. Dengan demikian, sangat diharapkan setelah lulus dari SMK mereka siap memasuki dan mengisi ketersediaan lapangan kerja sesuai dengan keahlian yang mereka miliki.
Dewasa ini jumlah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) baik negeri maupun swasta yang tersebar di seluruh wilayah kabupaten Sumbawa ada 5 SMK negeri dan 3 SMK swasta. Jumlah tersebut masih terbilang relatif sedikit mengingat peranannya dalam mengatasi krisis global, terutama dalam mendapatkan dan menciptakan lapangan pekerjaan yang tidak kecil dan mengingat pula luas wilayah serta sumber daya alam yang dimiliki oleh kabupaten Sumbawa. Kebijakan pemerintah daerah terhadap SMK adalah dengan membuka ruang masing-masing untuk memilih spesifikasi program misalnya; kealian keputrian, periwisata, mesin industri, keterampilan pertukangan, keterampilan perkantoran, peternakan dan kelautan. Untuk memenuhi hal tersebut, tugas pemerintah daerah memberikan dan mencari sumber pendanaan serta memfasilitasi dengan kebijakan pemerintah yang lebih tinggi. Menurut analisis dan data yang ada bahwa perbandingan antara SMA dan SMK dengan melihat ketersediaan lapangan kerja dan sumber daya alam masih sangat jauh dimana perbandingannya adalah 40:60. Suatu realita yang tidak bisa dipungkiri bahwa tidak semua lulusan SMA melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Mereka yang tidak melanjutkan pendidikannya dihadapkan pada pilihan untuk bekerja dan ikut memperebutkan kesempatan kerja yang semestinya menjadi milik lulusan SMK. Berdasarkan data dari Direktorat Pembinaan SMK yang tercantum dalam buku Reposisi Pendidikan Kejuruan Menjelang 2020, disebutkan bahwa tingkat pengangguran lulusan SMA mencapai 16%, sementara lulusan dari SMK sendiri mencapai 12%. Menyikapi kondisi tersebut, pemerintah daerah kabupaten Sumbawa berpendapat bahwa rendahnya angka pengangguran lulusan SMA merupakan ironi. Lulusan SMA tidaklah sama dengan lulusan SMK karena keterampilan praktis yang dimiliki lulusan SMA tidak seperti lulusan SMK. Lulusan SMK memang dipersiapkan untuk bekerja karena telah dibekali dengan kompetensi masing-masing.
Oleh karena itu, pengembangan SMK ke depan di kabupaten Sumbawa harus lebih fokus kepada program-program peningkatan kompetensi kelulusan yang lebih mampu menjawab tantangan maupun tuntutan lapangan kerja. Adanya tuntutan-tuntutan seperti itulah maka SMK harus berkembang lebih baik di masa mendatang, karena SMK diharapkan mampu memunculkan generasi yang siap bekerja dan untuk memaksimalkan peranan SMK, pemerintah menyusun program sertifikasi. Program sertifikasi merupakan program yang memberikan pendidikan dan latihan pada siswa untuk memperdalam keterampilannya sesuai dengan bidang yang diminati. Bagi siswa-siswi SMK yang ingin mengikuti sertifikasi untuk mendapatkan sertifikat, mereka harus mengikuti beberapa ketentuan seperti mengikuti pelatihan, praktik dan seleksi. Apabila lulus dalam seleksi tersebut, mereka akan mendapatkan sertifikat yang akan membantu mereka mendapatkan pekerjaan dan mendapatkan upah atau salery yang sesuai. Bahkan dengan sertifikat tersebut, calon tenaga kerja (siswa-siswi yang telah lulus) dapat memperoleh penghasilan yang lebih besar dibandingkan dengan mereka yang tidak memilikinya.

B. Masalah yang dihadapi SMK di Kabupaten Sumbawa
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan salah satu lembaga pendidikan yang bertanggungjawab untuk menciptakan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan, keterampilan dan keahlian, sehingga lulusannya dapat mengembangkan kinerja apabila terjun dalam lapangan kerja. Pendidikan SMK itu sendiri bertujuan "meningkatkan kemampuan siswa untuk dapat mengembangkan diri sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian, serta menyiapkan siswa untuk memasuki lapangan kerja dan mengembangkan sikap profesional". Apapun jenis pendidikan pada Sekolah Menengah Kejuruan tidak lain muara dari lulusannya agar mereka memiliki kemampuan, keterampilan serta keahlian di dalam bidang ilmu tertentu. Selanjutnya mampu dan terampil diaplikasi untuk lapangan kerja. Oleh sebab itu, hakekat dari Sekolah Menengah Kejuruan sangat berbeda dengan SMA.
Melihat dari hakekat keberadaan SMK, ada dua hal sebenarnya yang menjadi kelebihan dari Sekolah Menengah Kejuruan ini, pertama, lulusan dari institusi ini dapat mengisi peluang kerja pada dunia usaha/industri, karena terkait dengan manfaat sertifikasi yang dimiliki oleh lulusannya melalui Uji Kemampuan Kompetensi. Dengan sertifikasi tersebut mereka mempunyai peluang untuk bekerja. Kedua, lulusan Sekolah Menengah Kejuruan dapat untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi sepanjang lulusan tersebut memenuhi persyaratan, baik nilai maupun program studi atau jurusan sesuai dengan kriteria yang dipersyaratkan. Sekolah Menengah Kejuruan ke depan akan berkembang, sejalan dengan keinginan pemerintah untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mendirikan sekolah. Sebab dengan pola Otonomi Pendidikan yang diberlakukan sekarang ini, maka masyarakat juga memiliki tanggungjawab moral untuk memikirkan dan menumbuhkembangkan pendidikan. Sehingga pendidikan benar-benar menjadi milik bersama masyarakat atau lebih dikenal dengan Pendidikan Berbasiskan Masyarakat (community based education).
Namun dari sudut pandang yang lain suatu realita saat ini, ada beberapa masalah yang dihadapi Sekolah Menengah Kejuruan di kabupaten Sumbawa, antara lain; kurangnya fasilitas pendidikan yang memadai, terbatasnya dana untuk pengembangan institusi dan masih kurangnya tenaga pendidik yang memiliki kemampuan dan keahlian sesuai dengan permintaan lapangan kerja. Hal ini dapat dibuktikan di lapangan, bahwa makin banyak jumlah Sekolah Menengah Kejuruan yang berdiri, baik di kota propinsi maupun kabupaten kota, menimbulkan fenomena baru, yakni kekurangan tenaga pengajar, khususnya untuk bidang ilmu tertentu. Oleh sebab itu tidak heran bila kita melihat satu orang guru mengajar untuk tiga atau empat Sekolah Menengah Kejuruan. Dari kondisi ini perlu disimak bahwa dengan munculanya begitu banyak SMK, apakah sudah terpikirkan oleh kita unsur pelaksana lapangan atau orang yang bertanggungjawab untuk mendidik, mengajar dan melatih mereka, dalam hal ini adalah guru. Karena salah satu persyaratan untuk pendirian sekolah swasta, tidak terlepas dari persyaratan formal adalah tenaga pengajar.
Tenaga pengajar (guru) merupakan faktor dominan di dalam memberian izin pembukaan sekolah swasta. Kita menyadari bahwa ke depan SMK Kejuruan merupakan lembaga yang akan diminati oleh lulusan SMP, karena dalam persaingan era globalisasi dan pasar bebas sangat diperlukan siswa yang memiliki kemampuan dan keterampilan yang siap bina dan siap pakai. Sekolah Menengah Kejuruanlah sebagai salah satu lembaga yang mampu memenuhi kebutuhan seperti yang diinginkan oleh dunia dan lapangan kerja. Tapi, tentunya kita jangan melupakan unsur utamanya yakni guru, apakah guru-guru sebagai pelaksana lapangan sudah dimiliki oleh SMK tersebut atau tidak. Kalau kita mau jujur, jumlah guru-guru SMK yang tersedia dengan jumlah SMK yang ada tidak seimbang, artinya SMK masih kekurangan banyak tenaga guru di semua bidang keilmuan.
Sejauh ini pemerintah daerah mengupayakan pemberian bantuan biaya pendidikan kepada siswa yang memiliki semangat belajar tinggi namun terganjal oleh masalah ekonomi keluarga yang kurang mampu. Pemerintah daerah sering memberikan penegaskan jika pemberian beasiswa dilakukan seselektif mungkin dengan penyaluran bantuan itu tepat kepada mereka yang dinilai berhak menerimanya. Namun tidak semua SMK mampu menghasilkan tenaga kerja siap pakai, sebab hal ini erat kaitannya dengan kualitas SMK itu sendiri. Bagaimana pun kriteria SMK yang baik adalah SMK yang lulusannya segera bekerja baik diserap oleh perusahaan industri maupun yang menciptakan pekerjaan bagi dirinya sendiri dengan berwirausaha.
Dalam hal ini, untuk ke depannya nanti bahwa dengan adanya dukungan pemerintah daerah dalam meningkatkan mutu lulusan SMK melalui program sertifikasi, haruslah kita sambut dengan baik karena manfaatnya yang sangat besar. Meskipun kesuksesan yang akan diraih oleh lulusan SMK turut dipengaruhi oleh kinerja guru dalam mengajar dan semangat belajar siswa, namun faktor penentu yang utama adalah kemampuan mereka untuk berdiri sendiri dengan tegak dan keinginan untuk membuka cakrawala dalam berpikir ke depan serta mampu mempersiapkan diri untuk terjun ke lapangan kerja dengan modal keterampila, kedisiplinan dan kemandirian yang dimilikinya.

C. SMK di Kabupaten Sumbawa menjawab pemenuhan tuntutan lapangan kerja
Dalam upaya pencapaian mutu terbaik, SMK di kabupaten Sumbawa diupayakan untuk masuk dalam kategori SMK berstandar internasional. Akan tetapi di balik semua itu, benarkah SMK ini akan mampu mempersiapkan kualitas sumber daya manusia kabupaten Sumbawa untuk mampu bersaing di tingkat regional, nasional dan internasional serta mampu untuk mengisi ketersediaan lapangan kerja?. Untuk memperkuat semangat membangun mutu dan kualitas SMK di kabupaten Sumbawa tentunya sangat relevan dengan iklan layanan masyarakat yang dibintangi Tantowi Yahya. Dalam iklan itu sang bintang mencoba meyakinkan masyarakat bahwa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) adalah pilihan yang tepat bagi mereka yang ingin segera bekerja atau berniat menjadi wirausahawan. Seperti halnya di luar negeri, level SMK sengaja didirikan sebagai mesin lahirnya tenaga-tenaga kerja terampil yang siap kerja. Suatu harapan paling tidak kualitasnya sama dengan para lulusan di luar negeri, SMK di kabupaten Sumbawa berupaya untuk melahirkan SMK-SMK yang berstandar internasional. Sejak mulai dirintis beberapa tahun lalu, saat ini tercatatat baru 1 SMK yang masuk dalam kategori SMK bertaraf internasional.
Diharapakan ke depan nantinya akan ada penambahan lagi SMK bertaraf internasional bahkan mungkin lebih ideal di setiap wilayah kecamatan. Sebagai suatu gambaran dalam hal ini, Kepala Pusat Kurikulum (Puskur) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mengatakan basis kurikulum yang diberikan di SMK bertaraf internasional tentu berbeda dengan kurikulum yang diberikan pada SMK-SMK biasa. Tujuannya adalah untuk lebih memberikan bekal kompetensi kepada para siswa didik yang memang sejak awal diprioritaskan untuk memiliki keahlian kerja dalam skala yang lebih luas. Tidak hanya di Sumbawa, tetapi juga di kabupaten/kota lain dalam wilayah propinsi NTB bahkan mungkin menyeluruh di tingkat. Selain menerapkan kurikulum SMK seperti biasa, SMK bertaraf internasional juga memberikan kurikulum pengayaan dari negara yang menjadi rujukan atau menjadi contoh. Negara yang menjadi contoh atau acuan dalam penetapan kurikulum pada SMK bertaraf internasional adalah negara-negara yang tergabung dalam Organization Economic Co-operation and Development (OECD).
Selanjutnya, jika SMK bertaraf internasional itu merujuk pada sistem kurikulum di Jerman, maka metode, bentuk praktik, teori, hingga program yang diberikan akan merujuk pada kurikulum di negeri tersebut. Jadi siswa didik diarahkan untuk mampu bekerja di Jerman karena setelah lulus mereka nantinya akan memiliki dua sertifikat, termasuk sertifikat internasional untuk bekerja di luar negeri. Selain menerapkan kurikulum yang merujuk pada negara-negara yang dijadikan contoh, SMK bertaraf internasional juga memiliki kurikulum pengayaan yang disesuaikan dengan keperluannya sendiri atau kearifan lokal. Artinya, ada kurikulum yang tidak merujuk pada negara-negara lain, namun diperkaya dengan kurikulum tambahan. Kedua jenis kurikulum ini diharapkan dapat saling melengkapi, sehingga lebih mampu menjawab tantangan dunia dan lapangan kerja dalam kapasitas internasional. Misalnya saja, pengembangan pada kurikulum perhotelan dan industri yang dibuat dalam kapasitas tuntutan perhotelan industri internasional. Sehingga nantinya begitu lulus para siswa didik bisa langsung bekerja pada jaringan-jaringan hotel dan industri internasional,
Akan tetapi di lain pihak, perlu diingat bahwa penerapan SMK bertaraf internasional di kabupaten Sumbawa atau bahkan di Indonesia secara keseluruhan saat ini juga masih terkendala banyak hal, mulai dari kesiapan tenaga pendidik dan penyediaan infrastruktur serta fasilitas-fasilitas penunjang lainnya. Ini akan menentukan mutu atau kualitas dari pendidikan dan nantinnya. Penambahan kurikulum internasional pada SMK bertaraf internasional tentu dengan tetap memperhatikan nilai-nilai kearifan lokal, budaya lokal dan budaya bangsa pada umumnya. Di sisi lain juga tetap harus memperhatikan atau mempertimbangkan kurikulum secara nasional dan nilai-nilai luhur budaya bangsa kita. Untuk kesesuaian kurikulum dengan karakter daerah atau nilai-nilai luhur yang ada di daerah dan bangsa secara menyeluruh diserahkan kepada sekolah masing-masing, sebab mereka dinilai lebih mengetahui arah atau tujuan pendidikan yang diberikan. Tugas dan fungsi baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat melalui Depdiknas tetap melakukan pengawasan terhadap kurikulum yang dikembangkan di masing-masing SMK tersebut.

D. Kesimpulan
Dari beberapa uraian di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan, bahwa tidak hanya di kabupaten Sumbawa, tetapi juga dalam ranah kerja yang lebih mengglobal harus tetap memperhatikan kesediaan lulusan SMK dalam menghadapi penerimaan dan tuntutan lapangan kerja. Upaya peningkatan mutu dan kualitas pendidikan di SMK harus tetap dimaksimalkan demi kemajuan daerah, bangsa dan negara. Salah satu upaya misalnya, dengan menerapkan kurikulum SMK seperti biasa atau sesuai dengan kondisi daerah. Bahkan lebih baik lagi bila mengupayakan bertambahnya SMK bertaraf internasional dengan kurikulum pengayaan dari negara yang menjadi rujukan atau menjadi contoh. Jika SMK bertaraf internasional itu merujuk pada sistem kurikulum di Jerman, maka metode, bentuk praktik, teori, hingga program yang diberikan akan merujuk pada kurikulum di negeri tersebut. Jadi siswa didik diarahkan untuk mampu bekerja sesuai dengan keahlian yang dimilikinya karena mereka mempunyai dua sertifikat, termasuk sertifikat internasional untuk bekerja di luar negeri.



DAFTAR PUSTAKA

Artikel, akses di internet :

Bataviase.co.id, Mencetak tenaga kerja berstandar internasional, edisi 27 Januari 2007 (diakses, 23 April 2010 pukul 17.15 Wib).

Isjoni, Pendidikan network; SMK dan permasalahannya, edisi 04 November 2003 (diakses, 25 April 2010 pukul 16.30 Wib).

Depdiknas, 2007, Strategi pengembangan SMK di Kabupaten Sumbawa, Diknas Kabupaten Sumbawa.