Minggu, 10 April 2011

SILANG BUDAYA SENI JANGER BANYUWANGI SEBAGAI BENTUK KERAGAMAN BUDAYA BANGSA INDONESIA

A. PENDAHULUAN
Dalam rangka memasuki era globalisasi dan modernisasi teknologi informasi dewasa ini, keragaman budaya bangsa Indonesia bukan saja dilihat sebagai aset dan investasi kebudayaan di masa depan yang menjadi kekayaan bangsa melainkan merupakan wadah untuk mempererat dan menghubungkan khasanah perbedaan dan keragaman tersebut. Oleh karena bangsa Indonesia memiliki berbagai keragaman suku, penduduk, adat istiadat, tradisi, bahasa dan kebudayaannya. Dengan demikian melalui seni janger Banyuwangi ini dapat dijadikan sebagai salah satu bentuk budaya yang dapat menyamakan dan menyatukan dua karakter budaya yang berbeda dalam satu wujud seni. Kedua karakter budaya yang disatukan dalam wujud seni tersebut adalah karakter seni budaya Bali dan Jawa yang kemudian diramu dalam bentuk seni pertunjukan yang sangat meriah dan nyaman untuk ditonton.
Keberagaman budaya ataupun tradisi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sebagaimana telah disebutkan di atas, senantiasa dapat menumbuhkan nilai cipta, rasa dan karsa serta aspek rohaniah seluruh masyarakat dalam upaya untuk mempengaruhi dan menanamkan sebuah pemahaman terhadap bentuk dan makna dari budaya yang dimilikinya. Pemahaman aspek kebudayaan dan psikologi masyarakat dan kaitannya dengan pertalian dua karakter budaya yang berbeda tadi perlu diajarkan dan diperkenalkan kepada masyarakat secara lebih luas bukan hanya di Indonesia tepai juga sampai ke manca negara.
Pendekatan silang budaya merupakan suatu cara pemahaman budaya sebagai keseluruhan hasil respons kelompok manusia terhadap lingkungan dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan pencapaian tujuan setelah melalui rentangan proses interaksi sosial. Pokok-pokok yang terpenting adalah kebutuhan dan tujuan mempelajari budaya, lingkungan target budaya, dan interaksi sosial yang diinginkan. Dasar pemahaman yang digunakan adalah masing-masing sub entitas budaya itu mewarisi pikiran, perasaan, makna , tanda budaya dan simbol-simbol yang ada. Secara spesifik keadaan sosial budaya Indonesia sangat kompleks, mengingat penduduk Indonesia kurang lebih sudah di atas 200 juta dalam 30 kesatuan suku bangsa.
Masalah silang budaya tidak hanya sekedar berupaya melihat dari konteks karakter budaya, tetapi sebagai bentuk ekspresi nurani masyarakat Indonesia yaitu hakikat pola hidup dalam keragaman. Pada dasarnya budaya atau tradisi yang ada dalam lapisan masyarakat Indonesia memiliki “roh, jiwa dan semangat” pluralistik yang harus dipakai melalui ekspresi bentuk dan isinya. Kemajemukan masyarakat Indonesia merupakan suatu kenyataan yang dalam tataran pengakuan budaya masing-masing daerah dapat disinergikan dengan kepentingan yang lain, misalnya kepentingan sosial, ekonomi dan keagamaan. Dengan demikian melalui pendekatan silang budaya masyarakat Indonesia dapat diajarkan dari tataran formal ke tataran substansial. Pemahaman atas kenyataan pluralistik budaya Indonesia inilah sangat dimungkinkan adanya usaha membangun pola hubungan budaya manusia dan masyarakat yang multidimensional ini diawali dengan perpaduan system atau karakter budaya yang berbeda dalam bentuk seni.


B. PERMASALAHAN
1. Bagaimanakah latar belakang munculnya seni Janger Banyuwangi?
2. Bagaimanakah bentuk-bentuk silang budaya dalam seni janger Banyuwangi?
3. Bagaimanakah akses seni janger Banyuwangi terhadap masyarakat pendukungnya?

C. PEMBAHASAN
Sebagai wujud dari keragaman budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia dapat tercermin untuk mendapat gambaran tentang seni janger banyuwangi sebagai salah satu bentuk aplikasi silang budaya, maka dapat dipapar pada bagian pembahasan dari beberapa pokok permasalahan dalam makalah ini, antara lain :

1. Latar belakang munculnya seni janger Banyuwangi.
Dalam nuansa keragaman budaya bangsa Indonesia, silang budaya yang terdapat dalam seni janger Banyuwangi dapat terungkap lewat bahasa atau penuturan yang digunakan antara lain bahasa Jawa dan Using, musik yang merupakan perpaduan antara musik tradisional Bali, Jawa dan Using, busana yang dipakai juga merupakan perpaduan busana Bali dan Jawa, dan termasuk pula gerak tari. Bahkan untuk grup Janger tertentu anggotanya juga terdiri atas orang-orang dari etnis Bali, Jawa, dan Using. Penggunaan berbagai budaya yang berasal dari berbagai etnis tersebut merupakan suatu bentuk kerja kreatif dalam upaya pemerataan tradisi serta pencarian estetika baru dalam seni pertunjukan janger selain sebagai sebuah keniscayaan karena adanya dialog budaya mengingat posisi geografis Banyuwangi dan Bali berada di silang budaya.
Sebuah kemestian dengan menggunakan bahasa Jawa dan Using serta dipadukannya kostum, cerita, serta musik dari Jawa dan Bali, maka Janger mampu menyatukan dua karakter budaya yang berbeda yakni budaya Jawa dan Bali sehingga masyarakatnya bisa saling menghargai dan menghormati budaya-budaya tersebut. Selain itu, perpaduan dari berbagai multikultural tersebut malahirkan bentuk seni yang khas, unik, dan estetik. Dari aspek ekspresi, nilai-nilai yang ada dalam wacana seni janger tersebut disampaikan dengan menggunakan media tertentu yang mempunyai bentuk khas yang berbeda dengan seni budaya lainnya. Melihat keberadaan seni janger tersebut maka secara substansial wacana seni janger agak sedikit berbeda dengan seni budaya lainnya. Sedangkan secara ekspresif, seni Janger juga berbeda dengan seni budaya lainnya. Karena itu, seni janger dapat digunakan sebagai salah satu alat untuk menyatukan dan mempererat dua karakter budaya yang berbeda.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka untuk memperkenalkan seni janger supaya lebih memasyarakat, salah satunya dapat dilakukan dengan memasukkannya dalam kurikulum muatan lokal sebagai salah satu materi pembelajaran bahasa yang mencakup kosakata, berbicara, dan menulis karangan. Dalam hal ini, Seni janger dijadikan sebagai model pembelajaran bahasa yang alami. Pembelajar dibawa ke dunia yang senyatanya sehingga bahasa/teks tidak kehilangan konteks dan ko-teksnya. Sedangkan langkah-langkah pembelajarannya sesuai dengan proses belajar sosial yang mencakup atensi, retensi, produksi motorik, motivasi, serta komponen untuk pembelajaran budi pekerti yakni diskusi.
John Storey (1993 : 40) menuturkan bahwa hal yang menarik dari sebuah kebudayaan daerah adalah perhatian pada kebudayaan yang mengalami persilangan, dimana kebudayaan itu berlangsung dalam waktu dan masyarakat yang sama tetapi ekologi berbeda dan kebudayaan itu dipertahankan dan dikembangkan oleh masyakat pendukunngnya. Sebuah kemestian dalam perkembangan seni pertunjukan di Indonesia telah banyak terjadi hubungan lintas budaya antar suku-suku bangsa yang ada. Para seniman yang melakukan aktivitas budaya pada dasarnya telah mempunyai kesiapan untuk membuka diri dan menyibak sumber-sumber baru di hadapannya merupakan suatu misteri atau pun tantangan. Sikap dasarnya telah siap untuk menerima situasi multikultural sebagai suatu kenyataan yang dapat berolah di dalam dirinya (Sedyawati, 1999).
Demikian pula, dalam menghadapi dan memahami lebih dari satu kebudayaan milik orang lain, seniman memiliki kebebasan untuk memilih dan selanjutnya mengartikulasikan sesuai dengan pola dan daya ungkap yang dimiliki. Seni janger Banyuwangi sebagai salah satu bentuk seni pertunjukan yang berada dalam kawasan silang budaya Bali, Jawa dan Using. Dialog antar budaya dari ketiga etnis tersebut berlangsung secara mendalam, akrab, dan intensif. Melalui genius-genius lokal, ketiga budaya tersebut dapat dikreasikan menjadi sebuah performance yang khas. Silang budaya dari beberapa etnis tersebut dalam seni pertunjukan janger Banyuwangi dapat diamati pada tataran verbal dan nonverbal. Pada tataran verbal silang budaya tersebut tampak dengan pemanfaatan penggunaan bahasa Jawa dan Using. Sedangkan silang budaya pada tataran nonverbal tampak pada musik atau gamelan, kostum, dan stilisasi gerak tari. Seni janger Banyuwangi salah satu seni rakyat atau folklor merupakan bagian dari budaya yang dalam penampilannya menggunakan media bahasa. Sehingga budaya yang berinteraksi di dalam seni atau yang berdialektis tersebut akan tampak pada bahasa yang digunakan. Seperti dikemukakan oleh Hymes bahwa bahasa dan folklor merupakan aspek-aspek budaya yang secara otomatis menjadi bagian dari faktor-faktor dalam kehidupan masyarakat pedukungnya (Hymes, 1973: 128).
Selanjutnya dikemukakan pula bahwa bahasa merupakan tubuh dari folklor. Berbicara mengenai folklor atau seni rakyat tidak dapat melepaskan diri dari bahasa. Sehingga Hymes menyatakan bahwa folklor merupakan salah satu sarana atau objek penelitian bahasa dalam kaitannya dengan sosial masyarakatnya (Hymes, 1973: 132). Berangkat dari pemikiran di atas maka dapat dikatakan bahwa bahasa yang digunakan dalam seni janger Banyuwangi mencerminkan budaya yang berinteraksi di dalamnya. Budaya yang secara bersama-sama bersentuhan dan membentuk seni janger. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa multilingual dalam seni janger mencerminkan adanya multicultural yang beranekaragam di dalamnya. Sebagai sebuah folklore seni tradisional janger Banyuwangi terbentuk dari berbagai kultur masyarakatnya. Masyarakat yang melatar belakangi kehidupan janger tersebut mencakup berbagai etnis dan budaya antara lain masyarakat Jawa, Bali dan Using. Masing-masing budaya etnis tersebut berinteraksi dan mewarnai kehidupan seni janger Banyuwangi.

2. Bentuk-bentuk silang budaya dalam seni janger Banyuwangi.
Bentuk silang budaya dalam seni janger Banyuwangi merupakan multilingual dapat pula mencerminkan adanya dialektis antar budaya. Hal ini menunjukkan bahwa ia mengandung dua budaya atau lebih yang saling berinteraksi dan bersentuhan di dalamnya. Di sisi lain dapat juga berarti bahwa penyerapan budaya diikuti dengan penyerapan bahasa, karena bahasa merupakan bagian dari kebudayaan dan sekaligus sebagai wahana untuk menyatakan budaya. Seni janger Banyuwangi sebagai suatu bentuk seni yang berada di tengah-tengah multikultural dari masyarakat yang multi etnis menggunakan sarana komunikasi multilingual. Bahasa sebagai sarana komunikasi antara pemain dengan penonton harus berada dalam suatu idiom yang dapat dipahami, dimengerti dan tidak teralienasi. Jika idiom ini dlilanggar akan terjadi jarak atau pertentangan antara pemain dengan penonton dan terjadi alienasi. Oleh karena itu, penggunaan multilingual merupakan suatu mediator bagi seni janger Banyuwangi yang berada di tengah-tengah masyarakat multikultural.
Seni janger Banyuwangi merupakan salah satu bentuk seni rakyat atau sering disebut dengan folklore cenderung menggunakan media multilingual. Penggunaan media multilingual tersebut tidak dapat dilepaskan dari latar belakang masyarakatnya. Masyarakat Banyuwangi merupakan masyarakat yang multi etnis yakni masyarakat Jawa, Bali dan Using serta Madura. Keberadaan masyarakat dengan latar belakang kultur yang berbeda tersebut teraplikasikan dalam pemakaian bahasa dalam pertunjukan seni janger. Misalnya dalam penggunaan bahasa Jawa. Penggunaan bahasa Jawa dalam pertunjukan seni janger dapat dilihat pada aspek pedalangan dan dialog. Adapun penggunaan bahasa Jawa pada aspek pedalangan dalam pertunjukan seni janger dapat dilihat pada wacana berikut : “Hong wilaheng astuhu Brahmana, sidem myak mendhung abendanu. Dirgahayu. Ing jagat kulon mega malang, ing jagat wetan kawistara abang maya-maya mratandani sang bagaswara arsa nyuminari marang tribahwana. Tri wis karane telu. Bahwana jagat. Kang gumelar ing kaloka, ya dwi loka, kawastanan triloka. Ya daya pepadang kang saged mahanane sumbere panguripan. Awang-awang panguripane iber-iber, andene tirta panguripane mina. Ya panguripane jalma manusa, sanajan ta kutu-kutu walang adoga, ya jim setan pri prayangan, ilu-ilu banaspati, gendruwo bali praja ana ing bahwana. Sedaya kala wau tansah ngantru marang soroting sang hyang Bagaspati, ya sang hyang Batara Surya. Surupe sang hyang Batara Surya, bahwana dadi peteng ndhedhet. Laline anuwuhaken reeeep sirep, data pitana”

Terjemahannya :
“Hong wilaheng astuhu “menghaturkan sembah” kepada Brahmana/dewa Brahma sang pencipta, kesunyian menyingkirkan awan yang bergelayut. Dirgahayu selamat dan sejahtera. Di langit barat awan melintang, di langit timur kelihatan sinar kemerahan sebagai tanda matahari hendak menyinari tiga dunia atau bumi. Tri berarti tiga. Bahwana berarti dunia. Yang tergelar di kaloka, dwi loka, dan triloka. Ya sinar yang dapat menjadi sumber kehidupan. Dirgantara tempat hidup hewan-hewan yang terbang, sedankan air tempat hidup ikan. Tempat hidup umat manusia, serta hewan-hewan yang lain. Tempat hidup jin, setan priprayangan, ilmu-ilmu banaspati, gendruwo, dan makhluk halus lainnya kembali ke dunianya. Semua makhluk itu senantiasa menanti sinar sang hyang Bagaswara atau matahari, ya sang hyang betara Surya. Pudarnya sinar matahari atau sang hyang betara Surya dunia menjadi gelap gulita. Yang dapat melahirkan kesunyian, dan petaka”.
Dalam wacana di atas merupakan narasi pembukaan dari pertunjukkan seni janger yang berupa suluk. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa dan bukan merupakan bahasa sehari-hari. Orang-orang Jawa menyebutnya dengan “bahasa suluk” yakni bahasa yang biasa digunakan dalam kaitannya dengan acara ritual tertentu. Jika diilhami secara mendalam, maka isi dari suluk tersebut di atas sesungguhnya merupakan permohonan kepada yang Maha Esa agar pertunjukkan yang akan dilaksanakan terhindar dari bencana dan marabahaya yang tidak diinginkan. Bencana tersebut dapat berupa sesuatu yang kasat mata maupun yang tidak kasat mata. Sehingga suluk tersebut berfungsi sebagai mantra (dalam pandangan orang Jawa) untuk menolak bala atau bahaya yang mengacam.Selain itu isi suluk tersebut merupakan perwujudan dari sinkritisme Hindu Jawa dan Islam. Dalam masyarakat Jawa sinkritisme tersebut tumbuh subur dalam masyarakat abangan ( Geertz, 1985 : 37).
Selain itu janger juga merupakan seni yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat abangan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan bahasa, pemilihan kata, dan idiom merepresentasikan sikap batin dan kultur masyarakatnya. Dalam pelaksanaan pertunjukan sinkritisme tersebut muncul ketika mereka akan memulai pertunjukan. Salah seorang yang dipercaya sebagai pejangkung menghaturkan sesaji, membakar dupa atau kemenyan. Doa-doa yang mereka ucapkan dalam bahasa Arab dan Jawa. Bahasa Arab merupakan refleksi dari agama yang mereka anut yakni Islam sedangkan bahasa Jawa merupakan refleksi dari kepercayaan yang diwarisi dari nenek moyangnya. Dewa Brahma merupakan sang pencipta, sang seniman dapat mempergelarkan karyanya juga berperan sebagai pencipta. Sehingga perlindungan yang disampaikan tersebut merupakan permohonan terhadap Sang Pencipta. Sebagai seniman yang menggelarkan karyanya di hadapan penonton maka ia akan berusaha untuk menyajikan tontonan yang indah, menarik, dan bermanfaat. Dalam konsep keindahan Jawa disebut apik atau baik dan becik atau bermanfaat. Dalam kaitannya dengan seni pedalangan dalam pertunjukan janger Banyuwangi, semua dikemukakan dalam bahasa Jawa, sedangkan dalam dialog dan lawak digunakan bahasa Jawa dan bahasa Using.
Bahasa Jawa yang digunakan dalam dialog merupakan bahasa Jawa sehari-hari. Dalam hal ini, tampak dapat diamati penggunaan etiket berbahasa sesuai dengan kultur yang melatari. Pemakaian tata krama berbahasa memegang peranan yang sangat penting. Sebagai contoh; Urubisma sebagai Raja atau Adipati di Blambangan ketika berbicara dengan bawahannya maka ia menggunakan bahasa Jawa kasar atau ngoko. Sebaliknya Angkat Buta sebagai panglima perang yang merupakan bawahan dari Urubisma menggunakan bahasa Jawa halus atau krama. Adanya etiket berbahasa tersebut memaksa penutur untuk memilih idiom atau diksi yang sesuai dengan konteks pembicaraan. Dengan demikian, dialog dalam seni janger itu pun tidak lepas dari norma penggunaan bahasa yang berlaku di dalam masyarakat yang melingkupinya. Pemilihan bahasa Jawa dalam pertunjukan ini juga tidak lepas dari masyarakat penontonnya. Sebagian penonton seni janger adalah masyarakat yang berasal etnis Jawa. Dengan digunakannya bahasa Jawa sebagai sarana komunikasi maka ia terhindar dari alienasi dengan penontonnya. Terlepas dari pandangan tersebut berarti pemilihan bahasa merupakan sarana untuk mendekatkan diri antara pertunjukan dengan masyarakat penggemarnya.
Penggunaan bahasa Using oleh sebagian pengamat dikatakan sebagai dialek dari bahasa Jawa. Akan tetapi bagi masyarakat Banyuwangi bahasa Using merupakan bahasa tersendiri, dalam arti ia bukan merupakan dialek bahasa Jawa. Oleh karena itu, orang Banyuwangi menyebutnya dengan bahasa Using. Ciri penanda penggunaan bahasa Using terdapat pada logat berbahasanya, dimana ada perberbeda dengan dialek bahasa Jawa yang lain. Penggunaan bahasa Using dalam pertunjukan seni janger Banyuwangi terdapat latar belakang sosial tertentu. Hal ini mengingat sebagian besar masyarakat Banyuwangi adalah orang Using. Penggunaan bahasa Using juga merupakan upaya mendekatkan diri dengan penonton. Sehingga tidak terjadi jarak antara pemain dengan penonton, dengan demikian ada rasa empati dan simpati penonton terhadap pertunjukan Janger.
Penggunaan bahasa Using ini juga terjadi dalam adegan lawak. Keseluruhan adegan lawak menggunakan bahasa Using. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa Using merupakan media komunikasi yang akrab antara penonton dengan pemain. Dengan demikian, idiom-idiom yang dipilih dan ditawarkan pemain kepada penonton cepat ditangkap dan direspon, sehingga terjadi interrelasi antara pemain dengan penonton. Interrelasi ini sangat besar peranannya dalam pembentukan alur cerita dalam sastra lisan/tradisional. Berangkat dari pemikiran tersebut, maka dapat dikatakan bahwa alur cerita dalam sastra lisan terbentuk dalam interaksi antara penonton dengan pemain. Interrelasi maupun interaksi tersebut hanya bisa terjadi apabila bahasa yang digunakan berkomunikasi saling dipahami dan antara penonton dengan pemain berada dalam sebuah kultur yang sama.
Dilihat dari performancenya seni janger Banyuwangi memiliki bentuk yang khas, karena itu dapat diasumsikan bahwa seni janger Banyuwangi selain terbentuk dari seni pertunjukan yang multilingual juga multikultural. Hal ini dapat dilihat adanya dalang dalam pertunjukan. Seni janger Banyuwangi merupakan kesenian yang terbentuk dari transformasi wayang orang, kethoprak, dan Seni Bali. Unsur-unsur yang dimunculkan dari ketiga bentuk kesenian tersebut dapat dilihat berikut ini :

-Wayang Orang
Dalang (Suluk dan narasi)

-Kethoprak
1. Bahasa dan Tembang
2. Lakon dan cerita

-Seni Bali
1. Musik
2. Kostum
3. Stilisasi gerak

Ketiganya merupakan pelengkap pertunjukan Seni Janger

Perlu dipahami bawa dari ketiga unsur tersebut, aspek atau unsur yang paling berpengaruh dalam pembentukan wacana cerita adalah unsur dari wayang orang dan kethoprak, sedangkan seni Bali berpengaruh pada aspek teatrikalnya atau pementasannya yakni musik, kostum, dan gerak atau tari. Dengan adanya transformasi tersebut juga melahirkan bentuk wacana yang khas. Kekhasan bentuk seni janger, selain karena bahasanya juga adanya peran dalang. Peran dalang adalah untuk membawakan suluk sebagai pembuka cerita dan narasi di awal di setiap episode. Dalam pementasan seni janger disebut sebagai seni pedalangan. Baik suluk maupun narasi merupakan bagian integral dari cerita yang dipentaskan. Ditinjauari dari aspek sejarahnya dapat diasumsikan bahwa berbagai seni pertunjukan yang diasumsikan membentuk seni janger tersebut pernah tumbuh dan berkembang di Banyuwangi. Berbagai seni tersebut antara lain gambuh Bali, wayang orang, wayang kulit, kethoprak, dan ludruk. (Pigeaud, 1936; Brandon, 1974; Dinas Pariwisata Kab. Banyuwangi, 1996; Peni, 1998). Di sisi lain nama seni janger itupun juga merupakan metomorfose dari seni Damarwulan. Sedangkan seni Damarwulan itu sendiri oleh masyarakat Banyuwangi dianggap sebagai metamorfose dari seni Ande-ande Lumut, kethoprak, dan wayang (wawancara dengan beberapa tokoh Banyuwangi pada tahun 2000).
Suatu hal yang paling penting berkaitan dengan penggunaan bahasa Jawa maupun bahasa Using tersebut adalah sikap budaya. Sikap budaya ini berkaitan dengan tokoh legendari dari Blambangan yakni Minakjingga atau Urubisma. Bagi masyarakat Jawa yang terpengaruh oleh kerajaan Mataram, maka Minakjingga merupakan sosok pemberontak dan perongrong kedaulatan Majapahit. Ia digambarkan sebagai sosok yang culas, serakah, dan tidak tahu diri. Secara fisik Minakjingga digambarkan sebagai orang yang berkepala anjing, perut buncit, dan menggunakan klinthing di kaki. Semua penggambaran tersebut merupakan penghinaan terhadap sosok Minakjingga. Penggambaran sosok minakjingga semacam itu diaplikasikan dalam pemakaian bahasa Jawa. Pertunjukan seni janger yang dalam adegan Blambangan menggunakan bahasa Jawa maka ia akan menampilkan sosok Minakjingga dengan image dari kerajaan Mataram tersebut. Hal ini terjadi pada kelompok seni janger yang pemainnya berasal dari etnis Jawa.
Di lain pihak masyarakat Banyuwangi dan Using dalam memandang sosok Minakjingga merupakan seorang pahlawan. Bagi mereka Minakjingga adalah raja yang dihormati, dijunjung tinggi dan merupakan lambang dari kedaulatan Blambangan. Penggambaran sosok Minakjingga semacam ini tercermin dalam pemakaian bahasa Using. Pertunjukan seni janger yang menggunakan bahasa Using sebagai bahasa pengantar untuk adegan kerajaan Blambangan menganggap Minakjingga sebagai pahlawan mereka. Hal ini biasanya dilakukan oleh kelompok seni janger yang pemainnya adalah orang-orang Using itu sendiri. Penggunaan bahasa Using yang oleh banyak ahli sering dikatakan sebagai bahasa Jawa dialek Banyuwangi menunjukkan bahwa bahasa dalam cerita tradisional seni janger Banyuwangi digunakan untuk menuangkan budaya-budaya Jawa dan Using. Percampurab kedua budaya tersebut tampak pada digunakannya bentuk tembang Banyuwangian dalam seni janger Banyuwangi. Hal itu dapat dilihat pada contoh berikut; “Mandanea duh senenge urip nyandhing rika. Raina wengi sun kudang kendhang lagu kesenengan. Mendahnea kandhung maca isun nyandhing rika. Sun ngelasi, sun gedani, lan sun bela pati. Nyatane rika saiki wis nyandhing wong liya. Ati nisun kari nelangsa rika wis ngeliya. Mandanea kadhung paca isun nyandhing rika. Sun ngelasi, sun gedani, lan sun bela pati. Nyatane rika saiki wis nyandhing wong liya. Ati nisun kari nelangsa rika wis ngeliya. Mandanea kadhung paca isun nyandhing rika”.

3. Akses seni janger Banyuwangi terhadap masyarakat pendukungnya
Bagi masyarakat Banyuwangi dan Using, dikumandangkannya tembang Banyuwangian tersebut merupakan pengikat tradisi yang dapat menyatukan antara seni pentas dengan penontonnya. Sehingga penonton merasa ada ikatan batin dengan seni pentas janger Banyuwangi. Nilai rasa tembang tersebut akan berbeda jika penontonnya adalah masyarakat Jawa. Mereka akan merasakan suatu bentuk yang mungkin asing, terutama bagi masyarakat Jawa yang tinggal di luar Banyuwangi. Dari pembahasan di atas maka dapat dikatakan bahwa penggunaan multilingual dalam seni pertunjukan Janger Banyuwangi dipengaruhi penonton dan cerita yang dipentaskan.
Adapun bahasa yang dimaksudkan adalah bahasa atau dialek yang digunakan dalam pertunjukan seni janger Banyuwangi. Pemakaian bahasa tersebut dapat diklasifikasikan sesuai dengan jenis tuturannya. Sebab masing-masing tuturan tersebut menggunakan ragam bahasa yang berbeda. Bahasa sebagai bagian dari kebudayaan dan sebagai wahana untuk mengungkapkan budaya maka di dalamnya terdapat nilai-nilai budaya yang khas yang dimiliki masyarakatnya. Bahasa digunakan sebagai sarana untuk bertutur, berpikir, mengekspresikan gagasan serta untuk berinteraksi antar anggota masyarakat dan lingkungannya. Seperti dikemukakan oleh Briefly (dalam Howell, 1985 : 271) bahwa bahasa adalah hal yang paling utama digunakan sebagai media komunikasi dan kemudian sebagai wacana pokok yang memberikan informasi tentang budaya dan sosial.
Mengenai perbedaan bahasa pada diri seseorang disebabkan oleh adanya perbedaan pengalaman. Hal ini sesuai dengan hipotesis Fishman bahwa prilaku budaya dikondisikan oleh bahasa, sedangkan bahasa memiliki struktur karena itu kita dapat melihat hubungan antara struktur bahasa dengan struktur prilaku pemakai bahasa itu (Howell, 1985:274). Keseluruhan makna tingkah laku terepresentasikan seperti pada perilaku ujaran. Suatu komunikasi yang dilakukan lewat ujaran (secara lisan) dipengaruhi pada pemilihan kata, konstruksi gramatikal, dan kepaduan sintaksis dalam suatu kalimat.
Selanjutnya Sapir-Whorf menyatakan bahwa bahasa bukan hanya merupakan sarana sistematis yang bertugas menyampaikan berbagai pengalaman yang tampak relevan bagi individu, tetapi bahasa merupakan organisasi simbolik yang kreatif dan menentukan. Bahasa tidak hanya mengacu ke pengalaman yang telah diperoleh tanpa bantuan bahasa itu, tetapi membentuk pengalaman kita secara tidak disadari dengan kelengkapan formulanya. Dalam hal ini, bahasa menyerupai sistem matematika yang merekam pengalaman secara hakiki pada tahap awalnya, tetapi seirama dengan perkembangan waktu, menjadi sistem konseptual yang terjabar rinci dan menentukan semua pengalaman (Cahyono, 1995:420).
Clifford Geertz (dalam Casson, tt : 17) budaya merupakan sistem makna simbolik. Bahasa merupakan sistem semiotik yang berupa simbol yang berfungsi untuk komunikasi. Budaya merupakan simbol, bahasa juga berupa simbol yang mengungkap hubungan antara bentuk dan makna. Simbol merupakan sesuatu yang umum atau public. Anggota masyarakat dalam memahami obyek, tindakan dan peristiwa di lingkungannya terletak pada makna tanda secara individual dan sebagai milik masyarakat. Simbol tidak dapat berdiri sendiri lepas dari konteks masyarakat yang menghasilkannya. Dengan demikian, seni janger yang menggunakan media bahasa sebagai wahana untuk berekspresi juga bersifat simbolik. Selain itu, sifat seni itu sendiri simbolik, ambigu, multitafsir, berupa pasemon, dan idiosinkretik.
Kemudian dalam hubungan antara sastra/folklor dengan latar belakang masyarakatnya yang paling penting diperhatikan adalah kesimpulan yang dikemukakan oleh Grenstein bahwa sastra dapat mencerminkan perkembangan sosiologis atau menunjukkan perubahan-perubahan yang halus dalam watak kultural (Damono, 1979:3; Swingewood, 1972:12). Multilingual tersebut mencerminkan adanya multikultural yang berinteraksi di dalam masyarakat Banyuwangi. Dengan begitu, untuk dapat memahami seni janger diperlukan pemahaman tentang konteks budaya Banyuwangi. Hal itu karena bahasa yang digunakan dalam Janger merepresentasikan budaya yang ada di Banyuwangi. Selain itu, Janger merupakan perwujudan dari tindak penutur yang dibentuk oleh komponen yang berupa (1) aktor yaitu pelaku yang bertindak secara aktif dan kreatif, (2) tujuan yaitu orientasi tindakan yang terkandung dalam unit tindakan, (3) situasi yaitu keadaan yang menjadi latar belakang terjadinya tindakan, dan (4) norma dan nilai-nilai yaitu pesan yang ingin disampaikan penutur dengan menggunakan ujaran (Dimyati, 1988:34). Melihat keberadaan seni janger dan manfaat yang diharapkan dalam kaitannya dengan pembelajaran bahasa, maka seni janger dapat digunakan sebagai salah satu materi pembelajaran bahasa sebagaimana telah disebutkan di muka. Pemikiran tersebut didasarkan pada pandangan antropologis yang memandang pendidikan sebagai gejala sosial budaya. Dengan melalui proses sosialisasi, seorang individu menyusun pola-pola budaya yang berinteraksi dalam masyarakat sekelilingnya (Koentjaraningrat, 1986:229). Karena itu, dengan melalui pendidikan, pembelajar dapat mentransfer nilai yang ada dalam masyarakat untuk diinternalisasikan ke dalam dirinya sehingga pendidikan tidak bersifat dogmatik dan mekanik akan tetapi menjadi kreatif. Dengan demikian, para peserta didik dapat belajar secara otonomi dan independent (Gramsci, 2000:174).
Sebagai suatu realita sosial, seni janger dapat dikaji dari aspek isi dan ekspresi (Chatman, 1978). Dilihat dari aspek isi, seni janger mempunyai pesan berupa nilai-nilai yang terkait dengan silang budaya (Cross culture). Nilai silang budaya tersebut berkaitan dengan fungsi seni janger dalam menyatukan semua lapisan masyarakat. Dalam konteksnya yang alami, seni janger dapat digunakan sebagai media pembelajaran bahasa. Hal ini sejalan dengan pandangan Bandura (dalam Gredler, 1991:370) dalam teori belajar sosial bahwa belajar dapat dilakukan dalam latar yang wajar, khususnya hakikat belajar “vicarius” (Dahar, 1998:37). Dengan melihat perilaku para pemain dan reaksi yang diberikan penonton baik dalam bentuk cemoohan atau hukuman maupun pujian (reinforcement), siswa dapat meniru tindakan yang dilakukan pemain di atas pentas. Peran mendidik dengan cara di atas dapat menciptakan nilai-nilai fundamental humanistis sehingga tertanam disiplin diri secara intelektual dan kebebasan moral yang mampu mengembangkan spesialisasi watak ilmiah atau praktik-produktif (Gramsci, 2000:175).
Untuk menjadikan seni janger sebagai media pembelajaran bahasa, guru harus mampu mengaitkannya dengan kurikulum yang berlaku. Seperti dikatakan oleh Dubin dan Olstain (1986) dalam penyusunan dan penjabaran kurikulum menjadi silabus harus memperhatikan sifat bahasa, sifat belajar bahasa, dan filosofi kultural pendidikan. Seni janger tepat digunakan sebagai media pembelajaran bahasa dalam teori belajar sosial karena bahasa dalam wacana dalam seni janger dipandang sebagai ujaran yang bersifat alami. Selain itu, pembelajaran dengan media seni janger memungkinkan dilakukan dengan secara alami. Akan tetapi, kesulitan yang bisa dihadapi yaitu masih berkembangnya budaya pendidikan klasikal daripada alami di luar kelas. Seperti dikatakan oleh Krashen dan Selinger dalam Laser-Freeman dan Long (1991:25) ciri pembelajaran secara klasikal yaitu bahan diorganisasikan sesuai dengan kaidah-kaidah gramatikal sering disajikan satu kaidah dalam satu waktu dengan urutan penyajian yang ketat dan guru siap untuk membetulkan bentuk-bentuk kesalahan gramatikal yang dilakukan siswa, sedangkan ciri pembelajaran secara alami yaitu bahan disajikan secara komunikatif tidak terikat oleh kaidah-kaidah gramatikal secara ketat dan tidak ada aturan urutan penyajian dan kalau ada pembetulan kesalahan. Pembetulannya difokuskan pada makna pesan yang dikomunikasikan. Untuk mengatasi hal tersebut, salah satu alternatif yang bisa dilakukan adalah penggabungan antara sistem klasikal dan sistem alami. Hal ini karena kedua sistem pembelajaran tersebut mempunyai ciri sendiri-sendiri yang kalau digabungkan akan dapat menjadi pembelajaran yang baik.
Selain sebagai medium pembelajaran bahasa dampak penyerta atau nuturant effects dari pembelajaran bahasa dengan mengunakan media seni janger adalah seni janger memungkinkan untuk digunakan sebagai media pembelajaran budi pekerti karena menyangkut persoalan silang budaya. Caranya yaitu dengan jalan diintegrasikan dengan pembelajaran bahasa. Salah satu teknik yang digunakan guru dalam pembelajaran budi perkerti yaitu teknik diskusi agar pembelajar mampu menggali dan menginternalisasikan nilai-nilai yang ada dalam janger. Untuk menindaklanjuti penggabungan sistem pembelajaran tersebut, guru harus merinci dengan jelas tentang: (1) pengetahuan apakah yang diharapkan dicapai oleh pembelajar, (2) keterampilan berbahasa apakah yang pembelajar butuhkan pada masa mendatang, dan (3) teknik evaluasi apa yang digunakan untuk menilai hasil belajar? (Dubin dan Olshtain, 1991). Dari komponen-komponen tersebut dapat dirumuskan langkah-langkah pembelajaran sesuai dengan proses belajar sosial menurut Bandura.
Selanjutnya dalam memilih model, Grelder (1991:383) menunjukkan syarat-syarat agar model yang digunakan dalam pembelajaran harus menarik perhatian siswa. Oleh karena itu, seni janger Banyuwangi dapat dijadikan salah satu model pembelajaran karena (1) Janger merupakan kesenian yang sangat digemari oleh seluruh lapisan masyarakat Banyuwangi, (2) wacana dalam seni janger Banyuwangi sangat khas yaitu multilingual dan bentuk tuturannya beragam, (3) performance seni janger Banyuwangi yang multikultural merupakan sesuatu yang menarik bagi masyarakat, (4) pertunjukan seni janger di Banyuwangi hampir terjadi setiap malam kecuali pada bulan Ramadhan, dan (5) upaya pelestarian dan peningkatan kualitas pertunjukan terus dilakukan oleh sebagian besar perkumpulan seni janger Banyuwangi sebagai wujud dari silang budaya.

D. KESIMPULAN
Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa cerita tradisional rakyat tentang seni janger Banyuwangi menggunakan bahasa Jawa dalam suluk, narasi, dialog dan tembang serta bahasa Using dalam nyanyian, dialog, dan lawaknya. Kemudian menggunakan unsur teatrikalnya dengan yang diadopsi dari budaya Bali yang meliputi musik, kostum dan tari. Digunakannya berbagai unsur budaya tersebut menunjukkan bahwa budaya Jawa, Bali dan Using dijunjung tinggi dan dihormati dalam kehidupan masyarakat Banyuwangi.
Selanjutnya dalam masyarakat Banyuwangi terjadi perpaduan budaya yang sangat harmonis. Hal itu terlihat digunakannya bahasa Jawa dan Using dalam komunikasi serta diserapnya unsur-unsur budaya Bali dalam pertunjukan seni janger. Bahasa yang digunakan dalam pertunjukan seni janger Banyuwangi dapat digunakan sebagai media atau model pembelajaran bahasa bagi masyarakat Banyuwangi, karena bahasa yang digunakan dalam seni janger dapat dianggap sebagai salah satu model penggunaan bahasa secara alami. Namun dalam pemanfaatan bahasa tersebut sebagai model pembelajaran di sekolah perlu memperhatikan kurikulum yang berlaku.



DAFTAR PUSTAKA

Berger, A.A, 1984, Signs in Contemporary Culture: An Introduction to Semiotics, USA: Longman.

Brandon, James R, 1974, Theatre In Southeast Asia, Cambridge : Harvard University Press.
Casson. R.W, Tt.: Language, Culture, and Cognition Anthropological Perspectives, New York : Macmillan Publishing Co.

Cahyono, Bambang Yudi, 1995, Kristal-kristal Ilmu Bahas, Surabaya: Airlangga University Press.

Darmono, S.Dj, 1979, Novel Sastra Indonesia Sebelum Perang, Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa – Depdikbud.

Dimyati, M, 1988, Landasan Pendidikan :Suatu Pengantar Pemikiran Keilmuan tentang Kegiatan Pendidikan, Jakarta : Depdikbud Dirjen Dikti.

Dubin, F dan Elite Olshtain, 1986, Course Design: Developing Programs and Material for Language Learning. Cambridge: Cambridge University Press.

Gredler, M.E.B, 1991, Belajar dan Membelajarkan, Jakarta : Rajawali Pers.

Gramsci, A, 2000, Sejarah dan Budaya Surabaya: Pustaka Promethea.

Hymes, D, 1973, Foundations in Sociolinguistics: An Ethnographic Approach. Philadelphia : University of Pennsylvania Press.

Howell, Richard W, 1985, Language in Behavior, New York : Human Sciences Press.

Larsen-Freeman, D dan Michael H. Long, 1991. An Introduction Second Language Acquisition Researh, New York : Longman.

Peni Puspito. 1998. Damarwulan Seni Pertunjukan Rakyat di Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur di Akhir Abad ke-20. Tesis: Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada.

Rehzen, T dkk (Dewan Redaksi), 1999, Keragaman dan Silang Budaya Dialog Art Summit. Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia Th. IX-1998/1999.

Sedyawati, Edi. 1999, Multikultural dalam Ranah Tatap Muka dan Perantaraan Media. Makalah Seminar MSPI di Bali 1999.

Storey, John. 1993, Cultural Theory and Popular Culture: Harvester Wheatsheaf Campus 400.

Swingwood, Alan dan Diana Laurenson, 1972, The Sosiologi of Literature. London: Paladin.

Wahyuni, Lilik, 2001, Struktur Wacana Cerita Lisan dalam Janger Banyuwangi. Tesis: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar