Minggu, 10 April 2011

AMANDEMEN UNDANG UNDANG DASAR 1945

PENDAHULUAN
UUD 1945 merupakan acuan bagi negara dalam rangka menjalankan pemerintahan dan induk segala hukum yang berlaku di Indonesia, didalamnya memuat ketentuan pokok dan fundamental mengenai tata cara lembaga kenegaraan, Hak Asasi Manusia, ataupun memuat hak dan kewajiban warga negara. Dilihat dari sejarahnya, UUD 1945 dirumuskan oleh para pendiri negara yaitu para tokoh PPKI dan BPUPKI, dimana pada masa itu mereka berbicara sebagai seorang negarawan dan bukan sebagai konteks politisi. Oleh karena itu, apa yang dicantumkan di dalam batang tubuh UUD 1945 hanya memuat aturan dan pedoman bangsa Indonesia untuk bertindak dalam konteks waktu saat UUD tersebut dirumuskan dan bukan rumusan yang secara detail memberikan pedoman kepada bangsa Indonesia untuk bertindak di masa depan.
Pada dasarnya UUD 1945 dibuat untuk jangka waktu sementara sesuai dengan kebutuhan bangsa pada waktu yang bersangkutan, jadi sangat tidak tepat apabila bangsa Indonesia tidak melakukan perubahan lewat amandemen UUD 1945, khususnya pada batang tubuh UUD 1945. Sementara itu, dalam pembukaannya masih dapat dipertahankan karena merupakan kebutuhan politik yang sangat fundamental sebagai kesepakatan final untuk perekat bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai macam perbedaan, baik agama, ras, maupun suku bangsa. Perlunya amandemen ini dikarenakan, sebuah bangsa dari waktu ke waktu selalu mengalami dinamisasi sehingga sistem aturan yang terkandung di dalam UUD harus dijaga dan selalu disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan jaman (disesuaikan dengan kaidah negara yang fundamental). Sebagai bangsa Indonesia yang selalu bergerak dinamis jangan memandang bahwa semua kalimat yang tercantum dalam penjelasan UUD 1945 dijadikan sebagai penafsiran yang mutlak dan menganggap tafsiran tersebut sebagai kebenaran akhir yang tidak dapat diperbaiki dan diperbaharui. Dengan kata lain, UUD 1945 bukanlah barang sakral yang sudah tidak bisa diganggu gugat lagi kebenarannya.
Sistem ketatanegaraan Indonesia pasca Amandemen UUD 1945, sesungguhnya mengandung dimensi yang sangat luas., yang tidak saja berkaitan dengan hukum tata Negara, tetapi juga menyangkut bidang-bidang hukum lain. Bidang hukum tersebut antara lain menyangkut seperti hukum administrasi, Hak Asasai Manusia, dan lain sebagainya. Dimensi perubahan itu juga menyentuh tatanan kehidupan politik di tanah air, serta membawa implikasi perubahan yang cukup besar di bidang sosial, politik, ekonomi, pertahanan, dan hubungan Luar Negeri baik bilateral maupun multilateral.

MASALAH
-Bagaimanakah Undang Undang Dasar 1945 sebelum dan sesudah amandemen?

URAIAN
1. Undang Undang Dasar 1945 sebelum Amandemen
Sejak awal disahkannya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945, UUD ini sesungguhnya tidak dimaksudkan sebagai undang-undang dasar yang sifatnya permanen. Ir Soekarno yang mengetuai sidang pengesahan undang-undang itu secara tegas menyatakan bahwa UUD 1945 adalah Undang Undang Dasar “sementara” yang dibuat secara kilat yang nantinya jika keadaan telah memungkinkan kita akan membentuk majelis permusyawaratan rakyat yang akan menyusun Undang Undang Dasar yang lebih lengkap dan sempurna. Sejak saat itu lembaga kepresidenan RI untuk pertama kali dibentuk. Pada masa permulaan berdirinya RI kekuasaan Lembaga Keperesidenan dapat dikatakan bersifat mutlak karena dalam aturan peralihan dan konstitusi negara yang baru saja dibentuk menyatakan bahwa “ Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang Undang Dasar, segala kekuasaan dijalankan oleh presiden dengan bantuan Lembaga Konstituante” (Pasal IV). Oleh karena itu, Aturan dasar UUD 1945 secara implisit menyebutkan bahwa UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 itu hanya akan berlaku selama 4 bulan lamanya. Dalam enam bulan setelah selesainya perang Asia Timur Raya, presiden sudah harus menyelesaikan tugasnya menyusun segala peraturan dan membentuk lembaga-lembaga Negara sebagaimana diatur oleh UUD 1945, termasuk didalamnya membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dalam enam bulan setelah MPR terbentuk, majelis itu sudah harus menyelesaikan tugasnya menyusun undang-undang dasar yang baru.
Pernyataan itu sebenarnya dikeluarkan sebagai sebagai suatu strategi kepada dunia internasional, terutama kepada sekutu bahwa Indonesia benar-benar merupakan sebuah negara merdeka yang demokratis,. Indikator Negara merdeka bagi sekutu yaitu adanya sistem multipartai dan sistem pemerintahan parlementer. Artinya telah terjadi penyimpangan dari UUD 1945, khususnya pada penjelasan resmi Bab IV yang berbunyi “1). Presiden sebagai penyelenggara kekuasaan tertinggi di bawah Majelis, 2). Menteri-Menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Dengan mendasarkan pada pengamalan Pancasila dan UUD yang konsekuen, demokrasi pancasila telah dibelokkan menjadi demokrasi liberal.
Sejak di keluarkannya dekrit Presiden 5 Juli 1959, negara RI mendasarkan kembali sumber hukum negara pada UUD 1945. Masa ini yang disebut juga dengan masa ORLA (Orde Lama) banyak terjadi penyimpangan yang dilakukan. Sistem pemerintahan tidak sepenuhnya dijalankan berdasarkan UUD 1945. Menurut Feith (1962), dalam karyanya yang berjudul The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia ia menyatakan bahwa kegagalan Demokrasi Parlementer di Indonesia dikarenakan adanya dua gaya kepemimpinan yang berbeda antara kalangan Elite Indonesia pada masa pasca kemerdekaan (solidarity makers), dan di satu pihak adalah yang termasuk dalam kategori administrators atau problem solvers.
Setelah hasil pemilu 1955, maka terdapat empat partai besar yang berpengaruh yaitu NU, Masyumi, PNI, dan PKI. Besarnya pengaruh PKI mengakibatkan ideologi NASAKOM dikukuhkan dan disamakan dengan Pancasila. Pada masa itu dipaksakan doktrin seolah-olah negara dalam keadaan revolusi dan presiden sebagai kepala negara secara otomatis menjadi Pemimpin Besar Revolusi. Pada masa itu juga diperkenalkan demokrasi Terpimpin sehingga menuju pada kepemimpinan yang otoriter yaitu mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup yang dikukuhkan oleh MPRS. Padahal pengangkatan presiden seumur hidup bertentangan dengan Pasal 7 UUD 1945. Selain itu banyak pula penyimpangan lain seperti presiden mengeluarkan produk hukum yang sejajar dengan undang-undang tanpa persetujuan DPR, presiden membubarkan DPR hasil pemilu karena tidak menyetujui RAPBN dan kemudian presiden membentuk DPR GR (Gotong Royong).
Undang Undang Dasar 1945 secara runtut terdiri dari Pembukaan, Batang Tubuh, 16 bab, 37 pasal, 49 ayat, 4 pasal aturan peralihan dan 2 ayat aturan tambahan di era orde baru bertekad untuk mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, namun kenyataanya juga banyak penyimpangan-penyimpangan yang tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD tersebut, misalnya pemimpin lembaga tertinggi negara, dan lembaga tinggi negara dijadikan menteri negara. Dalam pelaksanaanya ditunjukkan dengan pimpinan DPR/MPR, BPK, dan MA oleh presiden dijadikan menteri. Padahal menurut pasal 17 UUD 1945, kedudukan menteri adalah pembantu presiden dan mereka bertanggung jawab kepada presiden. Memang secara prinsip kekuasaan itu harus tunduk kepada ketentuan-ketentuan hukum, tetapi dalam kenyataanya selalu ada hubungan dilematik antara hukum dan kekuasaan. Kekuasaan harus didasarkan pada hukum sementara hukum itu adalah produk dari kekuasaan. Jadi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sampai dengan tibanya era reformasi, sebenarnya tidak pernah terjadi pergantian Undang Undang Dasar. Hal yang penting menyangkut berbagai penyelewengan pemerintah Orde Baru terhadap UUD 1945 adalah terkait dengan penyelengaraan kekuasaan negara. Pemrintah Orde Baru terlihat dengan sengaja memanfaatkan pasal-pasal dalam UUD 1945 untuk semakin memperkuat kekuasaanya. Hal ini tampak dengan terpilihnya Soeharto selama hampir 32 tahun atau dapat dikatakan sebagai diktator yang terselubung. Dalam kasus ini diakibatkan karena. Pertama, Konstitusi Republik Indonesia tidak menunjukkan dengan tegas batas masa jabatan seorang presiden. Dalam UUD 1945 Pasal 7 Dinyatakan bahwa Presiden dan wakil presiden memegang jabatannya selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali”. Dengan pasal ini terbuka lebar untuk melakukan intepretasi tentang masa jabatan seorang presiden. Orde Bru sendiri mengiterpretasikan pasal itu sebagai cara untuk terus berkuasa dan membentuk kekuasaan yang sifatnya absolut karena setelah berkuasa selama lima tahun dapat dipilih kembali untuk berulang-ulang kali. Pada pasal 6 ayat 2 UUD 1945 dijelaskan bahwa wakil Presiden dan Presiden dipilih oleh MPR melalui suara terbanyak, tetapi pada kanyataanya MPR tidak pernah menetapkan calon presiden dan wakil presiden lebih dari satu calon semasa Orba. Kedua, presiden memiliki sumber daya yang sangat besar, yang dapat digunakan untuk memelihara kekuasaanya sehingga tidak ada seorangpun atau institusi apapun yang akan mampu bersaing dengan presiden yang sedang memangku jabatan.
Oleh karena itu UUD 1945 harus diubah mengingat latar belakang historis penyusunannya, maupun tuntutan perkembangan jaman. Hal ini bukanlah pendapat yang populer pada masa sebelum reformasi karena pendapat yang dikembangkan pada waktu itu ialah UUD tidak dapat diubah. Apabila ingin mengubah UUD 1945 harus melalui referendum sebagaimana diatur dalam ketetapan MPR, padahal ketetapan MPR tersebut telah menyalahi ketentuan pasal 37 UUD 1945. Pendapat Prof. Notonagoro pada waktu itu juga dijadikan pegangan bahwa UUD 1945 tidak dapat diubah. Jika UUD diubah maka akan terjadi pembubaran negara. Namun kenyataanya banyak negara didunia yang mengubah konstitusinya tanpa meyebabkan bubarnya negara itu.
Ketidakinginan melakukan perubahan terhadap UUD 1945 di Zaman sebelum reformasi bukanlah sebuah permasalahan hukum tata negara tetapi masalah politik. Politik dalam hal ini dapat menentukan diubah atau tidaknya UUD. Tentu saja perubahan ini dilaksanakan dengan cara-cara yang demokratis dan konstitusional. Diluar cara itu, masih terdapat cara lain yaitu revolusi, jika cara ini ditempuh maka akan sangat tergantung apakah tindakan ini dapat dipertahankan atau tidak. Jika berhasil maka konstitusi itu akan diterima dan menjadi sah, namun apabila gagal maka dengan sendirinya perubahan itu akan gagal.

2. Undang Undang Dasar 1945 setelah Amandemen
Gairah bangsa Indonesia untuk melakukan amandemen UUD 1945 kembali memuncak ditandai dengan keberhasilan para intelektual muda (mahasiswa) untuk mengulingkan pemerintahan Orde Baru yang dianggap telah banyak menyalahgunakan aturan yang terdapat dalam UUD 1945 untuk keserakahan harta dan kekuasaan. Selain itu, gerakan heroik mahasiswa tahun 1998 juga dimaksudkan untuk mengembalikan tatanan demokrasi Indonesia yang telah lenyap dalam beberapa dekade ditangan penguasa. Ada beberapa pertimbangan mengapa UUD harus dilakukan amandeman.
Pertama, Selama Indonesia memakai UUD 1945 selalu melahirkan pemerintahan yang tidak demokratis, bahkan cenderung dikatakan sebagai pemerintahan otoriter. Dapat dijelaskan bahwa dalam UUD 1945 tidak ada aturan yang detail mengenai pembatasan kekuasaan sehingga para penguasa baik penguasa Orde Baru maupun penguasa Orde Lama selalu menafsirkan kaidah dalam UUD tersebut sesuai dengan kepentinganya masing-masing. Apabila saat ini belum ada perubahan konstitusi yang mengatur pembatasan kekuasaan, maka tidak mengherankan apabila nantinya muncul kembali para penguasa otoriter di jaman serba demokrasi ini. Ini membuktikan bahwa aturan dalam UUD tersebut tidak selamanya benar dan harus disesuaiakan dengan perkembangan Jaman. Seperti dalam penjelasan di awal bahwa UUD 1945 memang dibuat dalam keadaan yang tergesa-gesa sehingga mengandung segi-segi kelemahan yang memungkinkan pemerintahan diktator baik secara terang-terangan maupun secara terselubung. Oleh karena itu keinginan untuk menghindari kediktatoran ini menjadi latar belakang yang penting untuk mendorong proses perubahan UUD 1945 pada era reformasi.
Kedua menyatakan bahwa, UUD 1945 sebenarnya dibuat untuk maksud sementara, dari sudut pandang sejarah pembuatanya belum memuat berbagai konstitusi tertulis. Selain itu, UUD ini dibuat dalam jangka waktu yang sangat singkat yang didalamnya belum terdapat pertimbangan-pertimbangan yang matang, jadi nilai kebenarannya juga masih bisa diubah dan diperbaiki sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan negara. Badan pembuat UUD tersebut juga bukan merupakan badan yang representative untuk menetapkan UUD, jadi tidak salah apabila dikatakan UUD merupakan aturan sementara yang sewaktu-waktu dapat diamandemen.
Selain itu, arah amandemen dari UUD tersebut harus sesuai dengan situasi dan kondisi bangsa Indonesia sekarang agar tidak menimbulkan multitafsir yang salah dari para penguasa. Menurut Arbi Sanit ada beberapa hal yang perlu ditata ulang, antara lain : Pertama, reformasi untuk mewujudkan tujuan negara yaitu kemakmuran dan penerapan kembali kehidupan yang dilandasi demokrasi. Kedua, kaitanya dengan ideologi Pancasila harus lebih diarahkan pada kondisi bangsa sekarang seperti halnya nilai-nilai universal tentang HAM dan sebagainya, namun semua itu bukanlah sebuah simbol tanpa adanya penerapan dalam kehidupan sehari-hari. Ketiga, mempertegas tatanan kekuasaan berdasarkan perimbangan kekuatan, pemisahan dan pembagian kekuasaan, pembatasan serta pengawasan kekuasaan. Keempat, diperlukan TAP MPR yang mengatur secara jelas tentang hak kekuasaan dari penguasa dan batas-batasnya serta menganti pasal yang secara tersamar atau terang-terangan menghambat jalanya demokrasi.
Menurut Moh Mahfud ada beberapa materi yang perlu diamandeman, antara lain. Pertama, keanggotaan MPR sebaiknya hanya terdiri dari dua golongan yaitu perwakilan politik dalam hal ini DPR dan perwakilan teritorial atau utusan daerah dan tidak perlu adanya utusan golongan yang dapat menimbulkan kerancuan karena mungkin terdiri dari golongan profesi yang berbeda. Kedua, pengurangan hak prerogatif presiden yang terlalu besar dijadikan UU. Ketiga, pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden, dalam hal ini Tap MPR No XIII tahun 1998 yang merekomendasikan jabatan presiden dan wapres selama 10 tahun atau dua periode sebaiknya dimasukan di dalam batang tubuh UUD 1945. Keempat, kebebasan kekuasaan badan kehakiman dalam menentukan segala tindakanya tanpa adanya campur tangan pihak lain harus dicantumkan di dalam UUD. Kelima, meminimalkan atribusi kewenangan kepada lembaga legislatif (presiden dan DPR) untuk mengatur hal-hal yang sangat fundamental dengan UU.
Keinginan untuk perjuangan untuk tegaknya hukum dan pengakuan serta perlindungan terhadap hak sasi manusia dan keinginan untuk emberikan perhatian yang lebih besar kepada daerah-daerah juga begitu menguat, sehingga kewenangan-kewenganan pemerintah daerah juga perlu diperkuat, yang tujuannya untuk mencegah disintegrasi. Pada akhirnya keinginan yang teguh untuk membangun kesejahteraan rakyat yang telah lama menajdi harapan terasa demikian menguat pada era reformasi ini. Itulah antara lain, latar belakang keinginan dan aspirasi yang mengiringgi perubahan UUD 1945. Namun perubahan itu dilaksanakan oleh MPR hasil pemilu 1999, yang diikuti oleh partai-partai politik baik partai lama maupun baru, yang kenyataanya tidak meghasilka kekuatan mayoritas. Dalam situasi ini dapat dipahami bahwa perumusan pasal-pasal perubahan penuh dengan kompromi-kompromi politik, yang tidak selalu mudah dipahami dari sudut pandang hokum tata negara. Proses perubahan ini dipersiapkan oleh panitia ad hoc MPR yang mencermikan kkuatan fraksifraksi yang ada di dalamnya. Akhirnya terjadilah empat kali perubahan dalam bentuk penambahan dan penghapusan ayat-ayat, namun secara keseluruhan tetap terdiri atas 37 pasal yang secara keseluruhan ternyata lebih banyak materi muatannya dari naskah sebelum dilakukan perubahan.
Undang Undang Dasar 1945 amandemen secara runtut terdiri dari Pembukaan, pasal-pasal, 21 bab, 73 pasal, 170 ayat, 3 pasal aturan peralihan dan 2 pasal aturan tambahan yang melalui 4 (empat) kali perubahan yaitu perubahan pertama tahun 1999, perubahan kedua tahun 2000, perubahan ketiga tahun 2001 dan perubahan keempat tahun 2002. Meskipun terjadi empat kali perubahan, namun semua fraksi yang sejak awal telah menyepakati untuk tidak mengubah UUD 1945. Dengan demikian pemikiran-pemikiran dasar bernegara sebagaimana termaktub didalamnya, tetap seperti semula. Namun implementasi pemikiran-pemikiran dasar itu ke dalam struktur ketatanegaraan memang cukup besar. Kesepakatan untuk tidak mengubah pembukaan ini, memnag menunjukkan keinginan fraksi-fraksi untuk menghindari perdebatan yang bersifat filsafat dan ideology, yang nampaknya memetik pelajaran dari sejarah perdebatan, baik dalam proses penyusunan UUD 1945 di masa pendudukan Jepang maupun perdebatan-perdebata yang sama di konstituante. Dua fraksi, yaitu fraksi Persatuan Pembangunan dan Fraksi Bulan Bintang memang mengusulkan perubahan ketentuan pasal 29 ayat 2 UUD 1945 sebagaimana teks piagam Jakarta, khusus yang berkaitan dengan syariah Islam. Namun perubahan ini tidak mereka tujukan kepada pembukaan sebagaimana kedudukan awal dari paiagam Jakarta. Usul perubahan ini kemudian mereka tarik kemungkinan gagal memperoleh kesepakatan. Fraksi PBB menegaskan bahwa mereka menunda memperjuangkan amandemen pasal 29 itu sampai tiba saat yang memungkinkan untuk memperjuangkannya.

Contoh Perubahan (Amandemen) UUD 1945:

LAMA (Sebelum Amandemen)
BAB I
BENTUK DAN KEDAULATAN
Pasal 1
(1) Negara Indonesia adalah Negara kesatuan, yang berbentuk Republik.
(2) Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyarawatan Rakyat.

BAB II
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT
Pasal 2
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota. Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.
(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam tahun di ibukota negara.
(3) Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara terbanyak.

BARU (Setelah Amandemen)
BAB I
BENTUK DAN KEDAULATAN
Pasal 1
(1) Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik.
(2) Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar (3 kali perubahan).
(3) Negara Indonesia adalah negara hukum (3 kali perubahan).

BAB II
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT
Pasal 2
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang (4 kali perubahan).
(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota Negara.
(3) Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditepkan dengan suara terbanyak.

SIMPULAN
Undang Undang Dasar 1945 dibuat dalam waktu yang singkat dan masih terdapat unsur-unsur yang memungkinkan terjadinya penyalahgunaan wewenang dari isi pasal-pasalnya. Oleh karena itu sesuai dengan isi pasal 37 UUD 1945, maka sangat dimungkinkan dilakukan perubahan untuk menyempurnakannya. Perubahan atau amandemen ini menyangkut aspek-aspek pital dan mendasar dalam Batang Tubuh UUD 1945 dan sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.


DAFTAR RUJUKAN

Feith, Herbert. 1962. The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, Ithaca New York: Cornel University Press.

Gaffar, Afan. 2000. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Purwastuti, Adriani. 2004. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: UNY Press.
Soegeng, A.Y.2002. Memahami Sejarah Bangsa Indonesia. Salatiga: Widya Sari Press.

Majelis Permusyarawatan Rakyat Republik Indonesia. 2006. Materi Sosialiasi Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sekretariat Jenderal MPR RI.

Majelis Permusyarawatan Rakyat Republik Indonesia. 2006. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sekretariat Jenderal MPR RI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar