Sabtu, 09 April 2011

FENOMENA ISLAM WETU TELU (WAKTU TIGA)

FENOMENA ISLAM WETU TELU (WAKTU TIGA)
“SUATU BENTUK AGAMA LOKAL MASYARAKAT BAYAN”
(Studi Kasus di Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Barat NTB)

A. PENDAHULUAN
Penelitian Sosiologis ilmuwan Barat pada abad ke-20, seperti Van Eerde dan Professor Bousquet, menunjukkan bahwa di kalangan masyarakat Sasak/Lombok khususnya di Kecamatan Bayan Lombok Barat terdapat kelompok keagamaan yang menganut faham Islam Wetu Telu (waktu tiga) dan disebut-sebut sebagai agama asli masyarakat tersebut. Di sisi lain menurut Erni Budiwanti, faham islam wetu telu ditandai oleh adanya animisme dan panteisme. Pemujaan dan penyembahan roh-roh leluhur dari berbagai dewa lokal lainnya merupakan fokus utama dari praktek keberagamaannya. Penganut islam wetu telu merupakan komunitas masyarakat yang ditemukan pada abad ke 20, mereka tinggal di bagian utara Gunung Rinjani, Kecamatan Bayan dan Tanjung Lombok Barat dan di beberapa Desa di sebelah selatan Gunung Rinjani seperti Desa Sembalun dan Sambalia. diduga dulunya mereka berasal dari bagian tengah Pulau Lombok dan mengungsi ke wilayah pegunungan untuk menghindari proses Islamisasi.
Adapun mereka yang mengalami proses Islamisasi dengan sempurna digolongkan sebagai penganut Islam Waktu Lima, sebagaimana Islam yang umumnya dikenal luas. Mereka diidentikkan dengan orang-orang Islam yang taat dan sempurna melaksanakan ajaran agamanya, seperti shalat, zakat, puasa, haji dsb. Jumlahnya merupakan mayoritas umat beragama dan tersebar hampir di seluruh bagian Pulau Lombok.
Berbeda dengan islam Waktu Lima, penganut islam wetu telu diidentikkan dengan mereka yang dalam praktek kehidupan sehari-hari sangat kuat berpegang kepada adat istiadat nenek moyang mereka. Dalam ajaran islam wetu telu, terdapat banyak nuansa Islam didalamnya. Namun demikian, artikulasinya lebih dimaknakan dalam idiom adat. Di sini warna agama bercampur dengan adat, padahal adat sendiri tidak selalu sejalan dengan agama. Percampuran praktek-praktek agama ke dalam adat ini menyebabkan watak islam wetu telu menjadi sangat sinkretik.
Beberapa kalangan melihat fenomena islam wetu telu dalam makna yang sama dengan penganut islam abangan di kalangan masyarakat Jawa. Akan tetapi dilihat dari konsepsi serta cara pandang masing-masing tidaklah tepat untuk mempersamakan antara keduanya. Menurut Zamakhsyari Dhofier, islam abangan hanya merupakan sebutan bagi orang islam yang tidak taat melaksanakan ajaran agama islam. Dan secara lebih rinci Abdul Jabbar Adlan sebagaimana dikutip Syamsuddin mengidentifikasi islam abangan sebagai kelompok yang:
1.Tidak melakukan atau jarang melakukan syariat islam dengan alasan belum sempat, meskipun mereka mengakui itu semua adalah kewajiban agama.
2.Masih melakukan yang dilarang agama walaupun mereka mengakui bahwa hal-hal tersebut dilarang agama.
3.Mempunyai keinginan melaksanakan syariat islam dan meninggalkan larangan syarat islam bila sudah tua.
Berbeda dengan islam wetu telu, bagi mereka yang menganut faham islam wetu telu adalah bentuk akhir dari keberagaman, yang tidak hanya beranjak menuju waktu lima. Apabila ada diantara penganut islam wetu telu yang akhirnya memutuskan untuk menganut islam waktu lima, perubahan keyakinan ini merupakan konversi agama, bukan sebuah pencapaian menuju derajad keberagaman yang lebih tinggi. Dengan berpegang pada alasan ini, jelas terdapat perebedaan yang signifikan di antara keduanya.
Bagi orang luar, khususnya bagi golongan penganut islam waktu lima, berpandangan bahwa istilah islam wetu telu merupakan pencerminan dari praktek-praktek keagamaan mereka selama ini. Secara harfiah penganut islam waktu lima mengartikan islam wetu telu dengan waktu tiga, dengan asumsi wetu berarti waktu dan telu berarti tiga. Mereka menafsirkan sebutan itu karena penganut islam wetu telu hanya melaksanakan tiga rukun islam saja yaitu mengucapkan syahadat, melaksanakan shalat harian dan berpuasa. Mereka meninggalkan rukun keempat dan kelima membayar zakat dan pergi haji. Lebih jauh dalam pandangan islam waktu lima, penganut islam wetu telu cuma melaksnakan shalat tiga kali sehari, yaitu Shubuh, Magrib dan Isya. Shalat Dzuhur dan Ashar tidak mereka lakukan. Islam waktu lima juga mengatakan bahwa islam wetu telu juga tidak menjalankan puasa sebulan penuh melainkan tiga kali saja pada permulaan, pertengahan dan penghujung bulan ramadhan.
Berdasarkan penafsiran-penafsiran ini, pengamat islam waktu lima kemudian beranggapan bahwa keberagamaan penganut islam wetu telu belumlah sempurna sesuai dengan tuntutan Islam yang universal. Di samping itu ketidaksempurnaan ini juga terlihat dari pencampuran tradisi keberagamaan dengan tradisi adat yang masih melakukan pemujaan terhadap leluhur yang sarat dengan animisme dan antropomorfisme. Hal ini antara lain dapat dilihat pada cara penganut islam wetu telu memperlakukan makam kerabat leluhur yang dibangun di sekeliling masjid kuno islam wetu telu. Di situ orang-orang penganut islam waktu lima melihat tata cara beribadah penganut islam wetu telu yang menyerupai peribadatan orang Hindu Bali. Mereka menunjukkan atribut kultural lain yang memperkuat persamaan penganut islam wetu telu dengan orang Hindu Bali yakni cara berpakaian dalam menjalankan ritual, penyembelihan binatang, acara makan bersama sajian ritual, dan perkawinan dengan cara kawin lari.

B. PERMASALAHAN
1.Kapankah masuknya faham Islam Wetu Telu di Pulau Lombok khususnya di Kecamatan Bayan Lombok Barat?
2.Bagaimanakah perkembangan dan konsep ajaran Islam Wetu Telu terhadap para penganutnya?
3.Bagaimanakah keadaan atau kondisi Islam Wetu Telu akhir-akhir ini?

C. PEMBAHASAN
Faham islam wetu telu dinilai sebagai salah satu bentuk agama lokal pada komunitas masyarakat Kecamatan Bayan Lombok Barat yang khas dan unik. Kekhasan dan keunikannya terlihat pada pelaksanaan konsep ajaran yang dikembangkannya, dimana terdapat beberapa perbedaan faham dan ajaran dengan Islam Waktu Lima. Berdasarkan hal tersebut, maka di bawah ini dapat dilihat beberapa gambaran mengenai fenomena islam wetu telu yang berkembang di dalam masyarakat Kecamatan Bayan :

1.Masuknya faham Islam Wetu Telu di Pulau Lombok khususnya di Kecamatan Bayan Lombok Barat.
Teori tentang Islamisasi di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat masih mengundang perdebatan di kalangan sejarahwan. Pertanyaan kapan Islam masuk di Pulau Lombok dan siapa tokoh utama di balik islamisasi? Adalah pertanyaan yang sulit disimpulkan karena masing-masing teori mempunyai argumen yang didukung oleh fakta sejarah. Mahmud Yunus menjelaskan bahwa Islam masuk di pulau Lombok pada abad ke 17 M dari arah Timur yaitu Pulau Sumbawa. Pendapat ini didasarkan adanya suatu riwayat yang menceritakan bahwa Raja Goa di Sulawesi Selatan telah memeluk Islam sekitar tahun 1600 M, ketika didatangi tiga orang muballigh dari Minangkabau, yaitu Dato’ Ri bandang, Dato’ Ri Patimang, dan Dato’ Ri Tiro. Setelah memeluk Agama islam gelar Baginda Raja Goa berubah menjadi al-Sulthan Alaiddin Awwal al-Islam. Selain Raja Goa juga terdapat baginda Karaeng Matopia yang ikut memeluk Agama Islam. Keduanya dikenal sebagai penganjur dan menyebarkan Islam di daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaanya sehingga dalam beberapa waktu masyarakat Lombok telah memeluk agama islam. Bersamaan dengan meluasnya wilayah kekuasaan kerajaan Goa terutama setelah penaklukan Bone pada tahun 1606 M, Bima pada tahun 1616 M, 1618 M, dan 1623 M Sumbawa pada tahun 1618 dan 1626 M, dan Buton pada tahun 1626 M, maka perkembangan Islam di Pulau Sumbawa berlangsung secara cepat. Perkembangan Islam selanjutnya meluas hingga menyeberangi Selat Alas dan memasuki Pulau Lombok. Selanjutnya Lalu Wacana, seorang sejarahwan dari Nusa Tenggara Barat, berpendapat bahwa Islam masuk di Pulau Lombok sekitar abad ke 16 M dibawa oleh Pangeran Prapen (1548-1605) atau dikenal dengan sebutan Sunan Giri Keempat, putra Sunan Ratu Giri. Pada massa Sunan Prapen hubungan antara Jawa dan Lombok sudah terjalin sedemikian rupa dan telah banyak membawa pertukaran budaya. Puncak hubungan antara Jawa dan Lombok terjalin sejak pertengahan abad ke-16 M sampai kira-kira tahun 1700 M.
Dalam kaitan ini TE Behrend menyatakan: Kontak langsung antara Jawa dan Lombok pada kurun waktu abad ke 16 M sampai 17 M telah membawa pertukaran budaya yang cukup besar. Dalam babad dan tradisi lisan Lombok disebutkan bahwa terdapat mata rantai langsung yang dapat menghubungkan dengan kota pelabuhan Giri. Sunan Giri keempat yang disebut Prapen (1548-1605) adalah pembawa Agama Islam kepada orang Sasak (Lombok). Meskipun tidak harus dipercaya bahwa Sunan Prapen sendiri sebagai pendakwanya. Namun daerah pesisir membawa pengaruh kuat terhadap berbagai segi kehidupan masyarakat Sasak dan telah meninggalkan bekasnya di setiap unsur mulai dari bahasa sampai pada ukiran nisan. Puncak hubungan Jawa-Lombok terjadi sejak pertengahan abad ke-16 M sampai abad ke-17 M. kemudian timbullah kekuasaan Bali, mengakibatkan lenyapnya pengaruh Jawa di Lombok. Setelah prapen berhasil mengislamkan kerajaan Lombok, Agama Islam mulai berkembang di daerah-daerah yang terjadi wilayah kerajaan seperti di Pejanggik, Parwa, Sokog, Bayan dan desa-desa kecil lainnya. Tak lama kemudian Islam tersebar di pulau Lombok kecuali di lingkungan Karajaan Pajajaran dan Pengantap. Beberapa anggota masyarakat di kerajaan Sokog yang tidak mau masuk Islam mulai melarikan diri ke gunung-gunung. Sedangkan Pangeran Prapen meninggalkan Lombok untuk melanjutkan perjalanan dakwahnya ke pulau Sumbawa, sedangkan Prabu Rangkesari memindahkan ibukota kerajaan Lombok ke Selaparang yang merupakan bekas Pusat kerajaan Selaparang Hindu. Pemindahan ibukota ini didasarkan atas saran Patih Banda Yuda dan Patih Singa Yuda, dengan pertimbangan bahwa letak Selaparang lebih strategis dan tidak mudah diserang oleh musuh. Pada masa pemerintahan Rangkesari tersebut perkembangan Islam semakin pesat. Ia berhasil membawa kerajaan Selaparang kepada zaman keemasan, kemudian Selaparang dijadikan sebagai pusat penyebaran Agama Islam.
Teori lain menjelaskan bahwa Islam masuk ke pulau Lombok melalui seorang mubaligh bernama Syaikh Nurur Rasyid yang datang dari Jazirah Arabia. Ia bersama rombongannya bermaksud hendak berlayar ke Australia guna meneruskan dakwahnya. Namun karena satu dan lain hal mereka singgah di Pulau Lombok dan selanjutnya menetap di Bayan, Lombok Barat Bagian Utara. Karena dikenal sebgai ulama yang sholeh, masyarakat setempat memanggil dengan nama Gaus Abdur Razzaw. Dari perkawinanya dengan Denda Bulan lahirlah seorang putra yang diberi nama Zulkarnain. Ia menjadi cikal bakal raja Selaparang yang menikah dengan Denda Islamiyah. Dari perkawinan ini lahirlah seorang putri bernama Denda Qomariyah yang populer dengan sebutan Dewi Anjani.
Masyarakat Bayan, Lombok Barat mengakui bahwa pembawa Islam ke Pulau Lombok adalah Pangeran Sangepati yang berasal dari Pulau Jawa. Pangeran ini dikabarkan mempunyai dua orang putra, yaitu Nurcahya yang menyebarkan ajaran Islam wetu lima atau ajaran yang berlaku di kalangan masyarakat Islam pada umumnya. Sedangkan putra kedua bernama Nursada yang dikenal sebagai pengajar Islam Wetu telu yang banyak dianut masyarakat Bayan di Sembalun. Sejalan dengan perkembangan kedua faham tersebut dan banyaknya jumlah pengikut masing-masing, penganut Islam wetu lima sering tertimpa musibah dan penyakit, sedangkan penganut Islam wetu telu justru sebaliknya. Mereka hidup dalam alam yang subur dan menikmati hasil panen yang melimpah ruah, penuh kecukupan, dan berada dalam kondisi yang sehat. Melihat kondisi ini, Nurcahya mendatangi adiknya agar bersedia menolong para pengikutnya yang mendapat musibah dengan catatan mereka bersedia menganut Islam wetu telu. Hal ini telah menyebabkan faham tersebut semakin berkembang di Bayan dan dianggap sebagai faham yang paling benar oleh para pengikutnya sejak dahulu.
Selain argumen diatas, terdapat pula pendapat lain yang mengatakan bahwa penyebar Islam pertama di pulau Lombok adalah Syekh Ali Fatwa dari Baghdad. Awalnya, Ali Fatwa tinggal di dekat gunung Rinjani di daerah Sembalun dan dari sanalah ia mengajarkan tentang Islam kepada masyarakat Sasak (Lombok) yang saat itu dikenal masih primitif. Dalam monografi Daerah Nusa Tenggara Barat, dijelaskan bahwa terdapat dua versi tentang masuknya Islam di Pulau Lombok. Pertama, Islam masuk di Pulau Lombok berdasarkan ilustrasi Pangeran Pengging dari Jawa Tengah melalui Bayan Lombok Barat sekitar abad ke-16 M dibawa oleh Sunan Prapen, putra dari Sunan Giri, melalui Labuhan Lombok di Lombok Timur.Pendapat yang terakhir menjelaskan bahwa Islam masuk di Pulau Lombok diawali dengan munculnya nama Petung Anunggul, nama asli dari Sunan Alelana. Tokoh ini oleh masyarakat Lombok dikenal dengan sebutan Raden Mas Pakel. Ia mempunyai tiga orang putra yang kemudian menjadi ulama kharismatik di Lombok. Mereka adalah guru Jepun, Guru Deriah, dan Guru Mas Mirah. Selain tiga ulama diatas juga dikenal nama Sunan Guru Makasar dari Sulawesi Selatan, Jati Swara Kyai Serimbang, dan Enam Beret. Ketiga orang yang disebut terakhir berasal dari Sumatera. Pada pertengahan abad ke 16 M semua ulama tersebut pernah mengembara ke Pulau Lombok untuk menyebarkan agama Islam kepada masyarakat Lombok Propinsi Nusa Tenggara Barat yang mayoritas menganut dua agama besar yaitu Islam dan Hindu. Dua agama tersebut telah mengakar dalam kehidupan masyarakat setempat sehingga Islam yang didakwahkan dan diajarkan oleh para mubaligh dikemas ke dalam tradisi Hinduisme. Sayangnya baru sebagian kecil dipahami dan diamalkan oleh masyarkat Lombok. Disinilah muncul dua golongan penganut Islam yaitu Islam wetu telu dan Islam waktu lima.
Penganut Islam wetu telu adalah mereka yang baru mengenal tiga macam sembahyang yaitu shalat jum’at, shalat jenasah dan shalat kedua hari raya (idhul fitri dan idul adha) sedangkan kelompok Islam waktu lima adalah masyarakat muslim yang pemahaman agamanya lebih sempurna karena mengenal dan melaksanakan shalat lima waktu sehari semalam. Kedua komunitas tersebut sama-sama dikenal sebagai penganut Islam yang taat menjalankan syariah agamanya dan syariah para ulamanya terdahulu (wali), sehingga mereka tidak berani melakukan perubahan sikap dan perilaku keberagamaan sekalipun perubahan dimaksud mengarah pada penyempurnaan dan kesempurnaan.

2.Perkembangan dan konsep ajaran Islam Wetu Telu terhadap para penganutnya.
Faham Islam wetu telu dinilai sebagai salah satu bentuk agama lokal yang khas dan unik. Faham ini hanya mengenal tiga jenis shalat yaitu shalat jum’at shalat kedua hari raya dan shalat jenazah. Meskipun paham ini bertentangan dengan ajaran agama Islam dan dilarang oleh pemerintah setempat namun keberadaannya di Bayan tetap eksis. Berikut dijelaskan pengertian konsep, kepercayaan, dan jenis-jenis upacara keagamaan penganut Islam wetu telu :

1.Pengertian dan adat istiadat
Setidaknya terdapat tiga pengertian tentang Islam wetu telu, pertama penganutnya sendiri memberi batasan Islam waktu telu sebagai proses kejadian makhuk di alam semesta. Kedua, faham Islam wetu telu merupakan bentuk kepercayaan masyarakat Bayan yang terkena pemgaruh Islam pada masa Kerajaan Majapahit. Ketiga faham Islam wetu telu merupakan sekelompok masyarakat Islam yang belum menyempurnakan syariat atau ajaran agamnya.Dalam keterangan lain terdapat lima alasan mengapa faham ini disebut Islam wetu telu. Pertama, karena ajarannya menyebutkan bahwa sumber segala sesuatu yang mereka buat berasal dari tiga pokok, yaitu ushul, tasawuf dan fiqh. Kedua, karena menurut mereka bahwa segala sesuatu yang ada di atas dunia terdiri dan tiga unsur adat, yaitu :
a.Unsur adat manusia yang meliputi kelahiran, perkawinan, dan kematian.
b.Unsur pade (padi) yang harus ada dalam hidup manusia, karena merupakan kebutuhan pokok yang harus dimiliki dalam kehidupan sehari-hari.
c.Unsur adat agama yang menyangkut keyakinan terhadap pemahaman agama Islam menurut Al Quran dan sunnah nabi Muhammad SAW.
Ketiga, istilah Islam wetu telu sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan agama. Istilah tersebut digunakan dalam proses penanaman padi yang menggunakan tiga waktu, yaitu :
(1)Tanggal 5 Shafar dilakukan penurunan bibit padi dari lumbung. Bibit ini disiram lebih dulu dengan air yang diambil dari sumur
(2)Tanggal 15 Sya’ban dilakukan upacara bebija ke makam kompu. Air yang mereka bawa dari makam tersebut digunakan sebagai obat pembasmi hama tanaman padi yang akan dibuai
(3)Tanggal 25 Dzulkaidah di makam Reban Bande dilakukan upacara memakdung oda-oda untuk mengungkapkan rasa syukur atas keberhasilan menanam padi. Reban Bande oleh masyarakat setempat dijuluki Tuan Guru Patra yang dikenal sebagai tokoh petani yang berjasa membawa bibit padi sesuai dengan keadaan alam Sembalun yang dingin. Keempat disebut wetu telu karena pada diri manusia terdapat tiga sifat yang diambil dari 20 sifat Allah, yakni sifat-sifat allah, sifat-sifat adam, dan sifat hawa dan kelima dikatakan wetu telu karena penganutnya hanya mengerjakan tiga macam shalat, yakni shalat jum’at, shalat hari raya dan shalat jenazah.

2.Konsepsi Kepercayaan Islam Wetu Telu.
Penganut faham Islam wetu telu ini tersebar di beberapa desa dan kampung di pulau Lombok, khususnya di Kecamatan Bayan. Secara prinsipil tidak ada perbedaan faham antara Islam wetu telu dengan Islam waktu lima. Perbedaan hanya terletak pada tata cara pelaksanaan syariat dan praktek ibadah sehari-hari. Islam seperti yang diamalkan oleh faham wetu telu lebih dipengaruhi oleh adat istiadat setempat. Di Bayan, praktek ajaran Islam lebih dipengaruhi oleh kepercayaan Hinduisme. Sedangkan tempat lain di Lombok ajaran Islam yang dipraktekkan oleh faham wetu telu sudah dianggap sesuai dengan ajaran Islam yang hakiki. Perbedaan tersebut disebabkan oleh pengaruh jalan yang diikutinya.
Ada tiga jalan (siroh) yang diikuti oleh Islam wetu telu yaitu pengikut sirah Rabu, pengikut sirah Kamis, dan pengikut sirah Jum’at. Pengikut sirah Rabu kebanyakan terdapat didaerah Lombok Barat (Bayan). Sedangkan penganut sirah Kamis dan sirah Jum’at kebanyakan terdapat didaerah Lombok Timur dan Tengah. Adanya tiga golongan ini didasarkan pada perhitungan hari dan waktu yang dihubungkan dengan kepercayaan dan adat istiadat setempat.
Bagaimana konsepsi dan pengamalan ajaran agama Islam wetu telu, dapat dijelaskan dijelaskan sebagai berikut :
a.Konsepsi Ketuhanan
Secara teologis tidak ada perbedaan yang berarti antara Islam wetu telu dengan konsep Islam lainnya. Ia percaya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, kepada Nabi dan Rasul, Malaikat, hari kemudian serta percaya adanya surga dan neraka. Hanya saja kepercayaannya sebatas yang mereka ketahui. Misalnya mereka hanya mengetahui tiga malaikat yaitu malaikat Izrail, munkan dan Nankir. Mereka dikenal sangat fanatik terhadap Nabi Muhammad SAW, sedangkan nabi-nabi yang lain tidak banyak disebut.
Mereka membaca dua kalimat syahadat yang dalam istilah Islam wetu telu yang disebut nyadat. Kalimat ini oleh para penganut Islam wetu telu disebut dua kalimat syahadat sebagai “bersatu kepercayaan dengan Nabi Muhammad yang kembalinya kepada Allah “sedang penganut Wetu telu di desa Sembulun Lawang dan sambalun Sampit, mengucapkan dua kalimat syahadat terus dilanjutkan dengan terjemahannya yaitu (aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi Muhhammad utusan Allah, dan semua meyakini kekuasaan Allah serta mengakui kerasulan Nabi Muhammad SAW).
Bagi penganut faham Islam wetu telu di daerah Lombok Tengah mengucapkan kalimat syahadat dilanjutkan dengan terjemahan berikut: (aku bersaksi sebenarnya tidak ada Tuhan yang harus disembah selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu utusan Allah)

b.Kitab Suci.
Kitab suci faham Islam wetu telu adalah Alquran, meskipun tidak banyak dari mereka yang mengetahui isi atau mempelajari kitab suci ini, apalagi menjadikan isinya sebagai landasan berpijak dalam kehidupan sehari-hari. Tiga buah Al Quran yang terdapat di daerah Bayan terdiri dari dua buah yang ditulis tangan pada lembaran-lembaran kayu yang tipis dan satu buah lagi ditulis tangan diatas lembaran-lembaran kertas biasa. Al quran yang terakhir ditulis sekitar 1000 tahun yang lalu. Pada lembaran pertama dan terakhir dihiasi dengan gambaran dan ukiran yang merupakan lambang kekuatan Al Quran. Sedangkan pada lembaran terakhir terdapat nama penulisnya dengan huruf arab tertanda Umar Hamid.
Ditempat-tempat lain, seperti Lembuak, Sembalun, Jerowaru terdapat juga Al Quran tulisan tangan yang umurnya diperkirakan mencapai ratusan tahun. Karena itu, banyak tulisannya yang mulai rusak dan sukar untuk dibaca. Selain dari Al Quran ada lagi beberapa kitab yang ditulis tangan dengan bahasa arab dan beberapa buah lontar (takepan) berbahasa Jawa kuno dan Bahasa Sasak (Lombok), diantaranya ada yang berisi riwayat hidup Nabi dan biasanya dibacakan pada upacara-upacara tertentu. Kitab-kitab tersebut berada dibeberapa wilayah, yaitu:
1)Daerah Jero Waru, Lombok Timur 13 buah kitab yang seluruhnya merupakan tulisan tangan dan sekarang disimpan oleh H. Hasim Hamdan, seorang pemuka masyarakat. Menurut keteranganya kitab-kitab tersebut dari ayah dan pamannya sendiri yang bernama Papuq Maqas, seorang tokoh Islam wetu telu. Dari 13 kitab yang ada empat diantaranya adalah kitab fiqhaliran syafiiyah, kitab tauhid, kitab yang berisi doa-doa dan berbagai amalan dan kitab akhlak yang tidak jelas nama pengarangnya dan tahun ditulis karena halaman pertama sudah hilang.
2)Kitab Ushul Al Ruh berisi tentang ajaran martabat yang memuat asal kejadian manusia. Adapun kitab ini dijelaskan : Adapun abadiyah itu yang melihat cermin, wahdad itu cermin dan martabat Wahidiyah itu rupa yang ada di dalam cermin. Adapun abadiyah dan wahdah serta wahidiyah ketiga-tiganya itu kekal. Adapun alam arwah dan alam missal dan alam jasad dan alam insan itu dikatakan muhdats (baru) karena dari bayangan dari ketiga martabat abadiyah. Itulah sebabnya di dalam ibarat dikatakan muhdat sebagai isytarat saja dan hakekatnya adalah tidak muhadats, karena bayangan dan yang mempunyai bayangan itu dan mustahil; pisah karena esa pula.
3)Beberapa buah kitab selain Al Quran yang ada di sembalun adalah kitab-kitab matan seperti, Kitab Tauhid, Kitab Ma’rifat, Hakekat, Kitab Tuhfan dan Jauhar. Kitab tauhid membahas mengenai teologi.

3.Upacara Keagamaan Islam Wetu Telu
Pelaksanaan shalat dan upacara-upacara keagamaan lainnya adalah sebagai media berkomunikasi dengan Tuhan. Hubungan itu bagi penganut Islam wetu telu hanya bisa dilaksanakan para Tuan Guru atau Kiyai yang disebut Mangku. Karena mereka beranggapan bahwa hubungan manusia dengan Tuhan tidak boleh langsung tetapi harus melalui perantara.

a.Hubungan Manusia-Mangku-Dewa-Tuhan
Dalam siklus hubungan ini status mangku dan dewa berfungsi sebagai penghubung. Jika seseorang melaksanakan nazar, misalnya memohon keselamatan, sembuh dari penyakit dan sebagainya, mereka minta kepada mangku untuk mengantarkan dan memimpin upacara ketempat-tempat tertentu dan kepada dewa mana permohonan tersebut disampaikan. Permohonan dimaksud kemudian dihubungkan kepada Tuhan oleh dewa karena Tuhanlah yang dapat memutuskan segala sesuatunya. Jadi mangku dan dewa berfungsi sebagai perantara dalam hubungan manusia dengan Tuhan.

b.Hubungan Manusia-Kyai-Tuhan
Pola hubungan ini memposisikan Kiyai sebagai penghubung atau perantara yang bertugas untuk menghubungkan antara manusia dengan Tuhan melalui ibadah ritual. Sebagai petugas, seluruh tugas-tugas dan kewajiban peribadatan dari Tuhan, menurut faham Islam wetu telu cukup dikerjakan oleh para Tuan Guru atau Kiyai. Oleh karena tugasnya yang tergolong besar, maka Tuan Guru atau Kiyai cukup dihormati. Masyarakat setempat sangat patuh terhadap sikap dan nasehatnya.
Mereka yang tergolong Tuan Guru atau Kiyai memenuhi beberapa persyaratan, antara lain:
•Berumur minimal 40 tahun atau sudah mempunyai anak.
•Kalau berjalan pada malam hari harus memakai obor (lampu).
•Ramah dan menjahui sifat-sifat pemarah.
•Tidak boleh berdagang.
•Senantiasa menghadiri undangan selamatan atau pesta, namun tidak diperbolehkan membawa pulang sisa makanan.
•Tidak diperbolehkan naik pohon atau mengerjakan pekerjaan berat yang mengakibatkan keluar keringat.
•Tidak boleh menuntun sapi atau binatang ternak lain untuk menjaga jangan berkata kasar terhadap binatang.
•Kalau keluar rumah harus memberi salam kepada alam dan memberitahukan kepergiannya kepada istrinya.
•Pakaian harus sama putih atau paling tidak memakai daster putih.
•Istrinya yang dipanggil nyai harus dipilihkan oleh masyarakat banyak.
•Sewaktu diangkat dalam jabatannya harus berjanji untuk memelihara mulut, mata dan hati.
•Senantiasa berusaha berpegang pada sifat-sifat yang dimiliki oleh nabi, yaitu shidig, amanah, tabligh dan fathonah.
Dalam melaksanakan ibadah ritual di kalangan Islam wetu telu terdapat perbedaan. Hal ini disebabkan oleh tiga faktor. Pertama perbedaan sirah (jalan) yang dianut mendorong terjadinya perbedaan dalam melaksanakan ibadah. Kedua faktor kemampuan intelektual dalam memahami agama dan tradisi peribadatan para Tuan Guru dan ketiga, letak daerah tempat tinggal masyarakat Islam wetu telu.

c.Pelaksanaan shalat.
Pada umumnya para Tuan Guru dikalangan Islam wetu telu mengenal shalat 5 waktu, namun mereka hanya melaksanakan tiga jenis shalat, yaitu shalat Jum’at, hari raya dan shalat Jenazah. Pelaksanaannya pun terdapat perbedaan pokok antra lain, yaitu :
1)Menurut Islam wetu telu yang berada di desa Bayan Sungai penggadaan Lombok Barat, dan Tete Batu di Lombok Timur, shalat hanya dilaksanakan oleh Tuan Guru pada hari Kamis. Dimulai dengan melakukan shalat ashar kemudian shalat magrib, isya dan shubuh
2)Shalat jum’at dilaksanakan dengan 4 rekaat, namun diperbolehkan melaksanakannya dengan 2 rekaat. Sedangkan shalat hari raya dilaksanakan setiap tanggal 2 bulan syawal yaitu sehari setelah hari raya idhul fitri kalangan Islam waktu lima. Sedangkan pelaksanaan shalat jenazah, sama dengan Islam wetu lima, namun pelaksanaannya diwakilkan kepada Tuan Guru.
3)Penganut Islam wetu telu di desa sembalun, lenek, dan sekitarnya mengatakan bahwa shalat tidak boleh dilakukan di sembarang tempat, tetapi harus dilakukan di masjid itupun hanya dilaksanakan oleh Tuan Guru, adapun jenis shalat yang dikerjakan adalah :
•Shalat Dhuhur dilakukan pada setiap Jum’at. Ketika para Kiyai akan melakukan shalat maka diberi tanda dengan memukul bedug. Selesai shalat diberi tanda pukulan bedug. Diantara kedua pukulan bedug itu maka semua orang penganut faham Islam wetu telu diharuskan tinggal di rumah masing-masing. Tidak diperbolehkan bekerja, misalnya mencangkul di sawah, menumbuk padi, menenun dan lain sebagainya.
•Shalat ashar dilakukan oleh para Kiyai pada setiap hari kamis. Pada waktu-waktu itu diperkenankan bekerja sebagaimana biasa.
•Shalat Magrib dan Isya dilakukan oleh Kiyai selama satu bulan penuh. Setelah selesai shalat isya, dilanjutkan dengan shalat terawih. Orang tua dan anak-anak diperbolehkan melakukan shalat terawih. Pada malam-malam likuran yakni mulai tanggal 21 dan tanggal ganjil berikutnya sampai selesai, setiap rumah harus dipasang lampu dari buah jarak dengan maksud biar kehidupan manusia lebih baik dari kehidupan yang telah lalu.
•Shalat subuh dikerjakan setiap pagi, pada kedua hari raya.
•Shalat ied (idul fitri dan idul adha) dilaksanakan setelah dua atau tiga hari shalat ied, anak-anak, orang tua laki-laki dan perempuan ikut berkumpul di masjid dengan membawa makanan untuk dimakan bersama setelah Kiyai, menyelesaikan shalatnya dan setelah diziarahi oleh masyarakatnya. Kemudian dilanjutkan dengan ziarah kubur atau berkunjung ke tempat-tempat keramat lainnya sambil membawa makanan.
Pelaksanaan shalat dikalangan penganut Islam wetu telu di desa sengkol, True, Rembitan dan disekitar daerah Lombok Tengah sebagai berikut:
•Shalat lima waktu dikerjakan sehari semalam selama satu bulan puasa hanya oleh para Kiyai.
•Pada setiap hari Jumat seluruh Tuan Guru berkumpul di masjid Rembitan yang terletak di puncak sebuah dataran tinggi untuk melakukan Shalat Dhuhur berjamaah. Shalat Dhuhur pada hari Jum’at semacam ini dinamakan shalat Jumat tanpa khutbah.
•Shalat terawih dilaksnakan oleh para Tuan Guru setelah tanggal 15 bulan ramadhan terdiri dari 20 rakaat ditambah dengan 3 witir diakhiri salam pada setiap dua rakaat. Lafadz niatnya sama dengan umat Islam waktu lima tetapi sedikit ada perbedaan.
•Shalat hari raya dilaksanakan dengan mengikuti perhitungan masing-masing sirah yang dianut. Menurut perhitungan para penganut sirah Kamis shalat hari raya dilaksanakan setiap tanggal 2 syawal atau dua hari setelah hari raya Islam waktu lima. Sedangkan untuk idul adha dilaksanakan setiap tanggal 11 Dzulhijah. Khusus untuk penganut sirah jum’at dilakukan sehari setelah hari raya penganut sirah Kamis. Adapun syarat-syarat dan rukun kedua hari raya itu sama dengan Islam sempurna. Tetapi, ada beberapa tambahan.
•Bagi pemeluk sirah Kamis, para Tuan Guru yang menjadi makmum pada hari raya berlomba-lomba agar bisa memegang tongkat kotib setelah selesai membacakan khutbahnya dan berusaha untuk dapat mencium tangannya. Dalam keadaan demikian, pengkhutbah hari segera melepaskan tongkatnya kepada makmum dan turun dari mimbar menuju ke mihrab, untuk segera sujud. Menurut kepercayaan mereka jika khotib tidak segera sujud ke mihrab. Hal ini bertanda bahwa pada berikutnya akan banyak anak-anak yang meninggal dunia saat dilahirkan.
•Bagi pemeluk sirah Jum,at, setelah selesai kutbahnya, khotib harus segera menyimpan tongkatnya sebagaimana biasa. Tetapi orang-orang yang tidak mengikuti shalat disuruh menunggu di luar masjid kemudian masuk dengan sebagian membawa tongkat sendiri-sendiri.
•Shalat jenazah dilakukan sama dengan umat Islam lainnya. Tetapi ada tambahan dari penganut Islam wetu telu, yaitu setelah selesai shalat, Tuan Guru membaca takbir sebagaimana takbir pada waktu shalat hari raya. Setelah mayat tiba di liang lahat, Tuan Guru melakukan shalat sunah liang, kemudian membaca Surah Al Fatihah dan diakhiri dengan salam.

4.Ibadah puasa Ramadhan
Pelaksanaan ibadah puasa ramadhan hanya diwajibkan kepada Tuan Guru dan harus dilaksanakan sebulan penuh. Menurut perhitungan Islam wetu telu, awal ramadhan berkisar antara tanggal 2-4 ramadhan. Untuk pengikut sirah Kamis, awal puasa jatuh pada tanggal 2 Ramadhan, sedangkan bagi pengikut Sirah Jum’at awal puasa jatuh pada tanggal 3 Ramadhan.Penganut Islam wetu telu di daerah Lombok Barat umumnya memulai dan mengakhiri ibadah puasa menurut perhitungan dalam kitab warige. Kitab ini dipergunakan untuk perhitungan hari baik dan nasib baik. Sebelumnya mereka mengenai Nisfu Sya’ban, dimana seorang Tuan Guru melakukan shalat Magrib dan Isya di masjid yang kemudian shalat Nisfu Sya’ban. Anak-anak dan orang dewasa pria berkumpul di masjid, sedangkan para wanita datang sambil membawa makanan.
Selama bulan puasa, ada beberpa ketentuan dan syarat-syarat yang harus dipatuhi oleh orang yang melakukan ibadah puasa, yaitu :
•Pada waktu siang hari tidak diperbolehkan tidur dan mandi, tidak boleh keluar keringat, darah dan menyembelih binatanng.
•Selama bulan puasa tidak boleh kumpul dengan istri (baik siang maupun malam).
•Tidak diperbolehkan bicara kotor.
•Yang tidak berpuasa harus menjamin yang berpuasa.
•Kalau ada orang yang selamatan pada siang hari maka yang berpuasa boleh ikut makan.
Mengingat syarat-syarat berpuasa itu dianggap erat, maka kewajiban tersebut hanya ditanggung oleh Tuan Guru saja. Sementara penganut Islam wetu telu lainnya tetap dianjurkan menjalankan puasa walaupun tidak sebulan penuh.

5.Pelaksanaan zakat
Pada umumnya penganut Islam wetu telu telah mengenal ajaran zakat harta, meskipun pengetahuan mereka tentang zakat amal terbatas. Jumlah zakat yang dikeluarkan belum sesuai dengan peraturan-peraturan dalam Islam. Anggapan mereka semua harta yang dimiliki harus dikeluarkan zakat yang kemudian disebut sembelehan. Ada kepercayaan di tengah-tengah mereka bahwa segala sesuatu yang akan mereka makan harus disembelih terlebih dahulu baru boleh dimakan.Zakat yang terkumpul sebagian disalurkan kepada Tuan Guru dan fakir miskin, anak yatim, dhuafa, sabillilah dan lain-lain yang dianggap berhak menerimanya. Perhitungan besarnya zakat yang dikeluarkan terdapat perbedaan. Diantara mereka ada yang, mengeluarkan 10% namun pada umumnya jumlah zakat yang dikeluarkan sebanyak 12 gutus tanpa melihat jumlah hasil yang diperoleh. (12 gutus = 24 ikat padi, 12 gutus=24 cekel).
Selain dari zakat harta, mereka juga mengenal adanya zakat fitrah. Pembayaran zakat fitrah lebih baik dengan beras dan harus sudah tersedia sejak tanggal 12 ramadhan. Tidak ada ketemntuan pasti berapa jumlah zakat yang dikeluarkan. Di beberapa tempat ada yang hanya mengeluarkan zakat ala kadarnya lauk pauh, sirih, rokok, dan lampu jojor. Ada yang membayar zakat sebanyak setengah kilo gram beras perjiwa ditambah satu kobok lagi untuk sedekah. Dengan demikian jika jumlah anggota keluarga terdiri dari ibu, ayah dan lima orang anak, maka zakat yang harus dikeluarkan sebanyak 8 kobokan beras dengan rincian 7 kobokan untuk fitrah dan satu kobokan untuk sedekah.Penyaluran zakat fitrah tidak langsung dilakukan pada setiap hari raya Idul Fitri. Zakat yang terkumpul disimpan dalam masjid selama sembilan hari dihitung sejak hari raya. Setelah hari lebaran ketupat zakat fitrah baru dibagikan.

6.Ibadah haji
Penganut Islam wetu telu beranggapan bahwa menunaikan ibadah haji itu tidak wajib hukumnya, karena mekkah itu sendiri berada dalam tubuh manusai. Sisi lain mereka beranggapan bahwa roh orang yang sudah meninggal langsung pergi ke mekkah, karena itu pada hari meninggal seseorang harus diperingati dengan mengadakan suatu upacara yang dinamakan upacara pelayanan. Upacara ini dimaksudkan agar roh-roh orang yang sudah meninggal dapat selamat sampai mekkah.Sebagain penganut Islam wetu telu yang tinggal di daerah terpencil beranggapan bahwa mekkah itu terletak di gunung Rinjani. Karena itu, bagi mereka yang pergi haji cukup dengan pergi ke Gunung Rinjani. Di puncak gunung Rinjani terdapat segara anak yang dijadikan sebagai tempat peresmian seseorang yang baru diangkat menjadi Tuan Guru atau penghulu di lingkungan masyarakat penganut Islam wetu telu. Sebelum memasuki segara anak, seluruh rombongan dari pemuka agama dan masyarakat yang akan dibaiat harus menanggalkan seluruh pakaian yang dipakai dari rumah dan menggantinya dengan pakaian putih-putih yang belum pernah dijahit. Sebelum sampai di segara anak, mereka harus melalui pintu masuk yang diapit oleh dua buah tebing yang disebut pintu Babussalam.Mereka lalu naik melewati sebuah tempat yang berbentuk tangga, yang mereka namakan tangga emas mimbar Nabi. Di tempat itu pula terdapat sumber mata air yang mereka namakan safa dan Marwa sebuah tempat yang diberi nama Safa dan Marwa.

7.Pelaksanaan Maulid Nabi.
Sven Cederoth menggambarkan prosesi upacara Maulid yang diselenggarakan di desa Suren, sebuah desa tradisional di Lombok Barat Khususnya di Kecamatan Bayan yang menganut Islam wetu telu sebagai berikut :
Sebuah kerumunan orang berkumpul, menunggu apa yang akan terjadi. Orang-orang berpakaian yang berbeda, mengenakan pakaian kasar bewarna merah tua, sarung tenun, pundak terbuka tetapi disekitar dadanya dikaitkan kain bewarna coklat keabu-abuan, mereka menggunakan kain batik kecil yang dilipat seperti pita di sekitar kepalanya. Tiba-tiba sebuah prosesi muncul menuju jalanan. Dengan dilindungi sebuah payung, dua pasangan berpakaian dengan warna cerah dan dihiasi sedemikian rupa berjalan menuju pusat prosesi diikuti oleh sejumlah pria yang membawa porsi-porsi makanan pada wadah dari anyaman bambu yang ditutupi daun-daun pisang. Segera sesudah prosesi berlalu, semua penonton berhamburan berusaha untuk merebut pasir yang dilewati oleh kaki para peserta prosesi. Setelah melalui perjalanan yang singkat , prosesi itu sampai pada masjid tua, tempat para pemuka agama menunggu. Mereka berpakaian putih, tetapi juga menggunakan pita putih khas disekitar kepalanya. Masjid itu sendiri dihiasi dengan sejumlah kain, bendera-bendera beraneka warna pada tiang panjang yang berada di tiap-tiap pojok luar, dan dengan kain putih yang membentuk genteng rendah dibagian dalam masjid. Makanan dihidangkan kepada para pemuka agama, mereka makan dengan lahap, akan tetapi karena piring-pirignya diisi terus menerus, sisanya hampir sama banyaknya ketika mereka selesai dan ketika mereka mulai. Sisa tersebut dicampurkan dengan air suci yang ditempatkan pada sebuah kendi tanah berukuran besar, dan sebagian kecil dari campuran ini kemudian dibagikan kepada para peserta.
Berbeda dengan persepsi kalangan penganut waktu lima di atas penganut Islam wetu telu sendiri mempunyai persepsi yang sangat berbeda, bahkan menunjukkan sesuatu yang sama sekali berbeda dengan persepsi kalangan penganut waktu lima. Penelitian Erni Budiwanti terhadap Wetu Telu di Bayan, salah satu daerah konsentrasi penganut Islam wetu telu. Walau berbeda-beda, keempatnya merupakan satu kesatuan pengertian, karena masing-masing tokoh yang diwawancara mengakui konsepsi yang dikemukakan oleh tokoh penganut Islam wetu telu lainnya. Pertama, pandangan yang menyatakan bahwa Islam wetu telu bearti tiga sistem reproduksi, dengan asumsi kata wetu berasal dari kata metu, yang berarti muncul atau datang dari, sedankan telu berarti tiga. Secara simbolis hal ini mengungkapkan bahwa semua makhuk hidup muncul melalui tiga macam sistem reproduksi: melahirkan, seperti manusia dan mamalia, bertelur seperti burung dan berkembang biak dari benih atau buah seperti biji-bijian, sayuran, buah-buahan, perpohonan dan tetumbuhan lainnya. Tetapi fokus kepercayaan Islam wetu telu tidak terbatas hanya pada sistem reproduksi, melainkan juga menunjuk pada kemahakuasaan Tuhan yang memungkinkan makhuk untuk hidup dan mengembangkan diri melalui mekanisme reproduksi tersebut. Kedua, persepsi yang mengatakan bahwa Islam wetu telu melambangkan ketergantungan makhuk hidup satu sama lain. Menurut konsepsi ini, wilayah kosmologis ini terbagi menjadi jagat kecil danjagat besar. Jagat besar disebut alam raya atau mayapada yang terdiri atas dunia, matahari, bulan, bintang dan planet lain. Sedangkan manusai dan makhuk lainnya merupakan jagat kecil yang selaku makhuk sepenuhnya tergantung pada alam semesta. Ketergantungan jagat kecil pada jagat besar tercermin dalam kebutuhan mutlak jagat kecil akan sumber daya penting, seperti tanah, udara, air dan api.Pada saat yang sama jagat besar juga tergantung kepada jagat kecil dalam hal pemeliharaan dan pelestarian. Di luar itu, kemahakuasaan Tuhan berperan penting dalam menggerahkan ketergantungan antar makhuk. Ketergantungan inilah yang kemudian menyatukan dua dunia tersebut dalam suatu keseimbangan. Ketidakseimbangan dapat terjadi apabila manusia sebagai bagian dari jagat kecil terlalu tamak dalam mengeksploitasi jagat besar. Ketiga, konsepsi yang menyatakan bahwa penganut Islam wetu telu sebagai sebuah sistem agama termanifestasi dalam kepercayaan bahwa semua makhuk melewati tiga tahap rangkaian siklus, dilahirkan, hidup, dan mati. Kegiatan ritual sangat terfokus pada rangkaian siklus ini. Setiap tahap, yang selalu diiringi upacara, merepresentasikan transisi dan transformasi status seseorang menuju status selanjutnya, juga mencerminkan kewajiban seseorang terhadap dunia roh. Keempat, konsepsi yang menyatakan bahwa pusat kepercayaan Islam wetu telu adalah iman kepada Allah, Adam dan Hawa. Konsep ini lahir dari suatu pandangan bahwa unsur-unsur penting yang tertanam dalam ajaran wetu telu adalah:
1.Rahasia atau asma yang berwujud dalam panca indera tubuh manusia
2.Simpanan ujud Allah yang termanifestasikan dalam Adam dan Hawa. Secara simbolis adam mempresentasikn garis ayah atau laki-laki, sedangkan Hawa merepresentasikan garis ibu atau perempuan. Masing-masing menyebarkan empat organ pada tubuh manusia.
3.Kodrat Alam adalah kombinasi 5 indera (berasal dari Allah) dan 8 organ yang diwarisi dari Adam dan Hawa. Masing-masing kodrat Allah bisa ditemukan dalam setiap lubang yang ada di tubuh manusia dari mata sampai anus.
3.Keadaan atau kondisi Islam Wetu Telu akhir-akhir ini.
Pada awal abad ke 19 M, muncullah beberapa tokoh Islam di Nusa Tenggara Barat, seperti Tuan Guru Haji Mustafa dari Sekarbela, TGH. Umar Kelayu dan TGH. Abdul Hamid (1827-1934). Ketiganya menjadi panutan umat Islam diseluruh Pulau Lombok pada zamannya. Ketiga ulama tersebut dibantu oleh enam ulama yang baru kembali dari Mekkah seperti TGH Saleh yang dikenal dengan sebutan TGH. Lopan, TGH. Abdul Hamid Pejeruk, TGH. Abdul Karim dan TGH. Badrul Islam, mengembangkan Islam secara intensif di kalangan masyarkat Sasak (Lombok) khususnya para penganut faham Islam wetu telu berikut aktualisasi ajaran-ajarannya.
Keberadaan para Kiyai atau Tuan Guru di kalangan masyarkat Sasak (Lombok) cukup disegani dan dihormati, khususnya mereka yang diyakini sebagai Tuan Guru Besar seperti TGH. Umar di Kelayu dan TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid di Pancor yang pada tahun 1935 baru kembali dari Mekkah setelah 12 tahun mengembara di madrazah al-Syaulatiyah. Melalui pengajian-pengajian atau majelis ta’lim yang mereka rintis, lahirlah calon-calon ulama dan tuan guru-tuan Guru muda di kalangan masyarakat Sasak (Lombok) yang berdatangan dari berbagai penjuru Pulau Lombok. Para Tuan Guru Muda tersebut kemudian membangun pondok-pondok pesantren selain masjid-masjid dan surau-surau di desanya masing-masing.Kembalinya TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dari Makkah cukup membawa perubahan yang berarti bagi proses perkembangan dan masyarakat Islam di Nusa Tenggara Barat. Ia langsung mendirikan masjid Al Mujahiddin yang kemudian berkembang menjadi pesantren dan madrasah. Melalui masjid, pesantren dan madrasah inilah Zainuddin menerapkan ide dan gagasannya baik dalam bidang pendidikan syariah, teologi, tasawuf, dakwah dan politik. Selama proses perjuangan dalam menyebarkan dan mengajarkan Islam banyak tantangan yang dihadapi, baik dari kalangan internal maupun eksternal umat Islam. Tantangan internal antara lain : Pertama, munculnya kedengkian para Tuan Guru yang merasa terancam kewibawaannya. Mereka tidak segan-segan melontarkan tuduhan bahwa Zainuddin dikenal sebagai pengikut Khawarij dan Mu’tazilah, yang hendak mengobarkan gerakan Wahabi. Kedua, ketertinggalan umat Islam di bidang pendidikan dan politik. Ketiga, pemahaman agama masyarakat yang berbaur dengan kepercayaan animisme dan dinamisme. Sedang tantangan secara eksternal adalah sikap dan perlakuan pemerintah kolonial yang mengeksploitasi potensi umat Islam dan masyarakat Nusa Tenggara Barat untuk kepentingan kolonial.
Aspek pembaharuan Islam meliputi banyak hal, antara lain pembaharuan bidang politik, teologi, tasawuf, dakwah, syariat, pendidikan sosial keagamaan dan sebagainya. Luasnya objek yang hendak dibahas dengan perkembangan Islam di Nusa Tenggara Barat, maka penulis memfokuskan pada pemikiran Zainuddin dan pembaharuan Islam yang dilakukan kepada empat bahasan utama, yaitu bidang pendidikan, dakwah, syariah, hukum, theologi dan tasawuf. Hal lain yang menjadi objek kajian ini adalah memahami pemikiran dan langkah-langkah secara komprehensif dalam kaitannya dengan proses Islamisasi di Nusa Tenggara Barat yang diprakasai oleh TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid. Konsepsi tersebut berlangsung hingga awal abad ke 20 yang ditandai dengan semakin berkurangnya para penganut faham Islam wetu telu. Gerakan dakwah yang dilakukan oleh para Tuan Guru sebelumnya telah berhasil mengubah pandangan teologi sebagian masyarakat muslim Lombok dari animistik ke arah teistik.
Kondisi inilah yang mendorong Zainuddin untuk terus berdakwah melanjutkan perjuangan dakwah para pendahulunya. Keberhasilan gerakan dakwah yang dialkukan segera terlihat jelas karena ia tidak hanya membangun mental masyarakat melalui ceramah tetapi juga menyediakan sarana fisik atau lembaga keagamaan bagi masyarakat untuk dijadikan sebagai sarana transformasi pengetahuan secara formal dan non formal. Dengan demikian, gerakan dakwah Zainuddin dilakukan melalui dua jalur sekaligus, yaitu formal dan non formal. Jalur formal ditempuh dengan mendirikan madrazah sebagai sarana pembelajaran dan kaderisasi ulama secara sistematis dan terstruktur. Ia juga melakukan modernisasi pendidikan Islam dari corak tradisional ke arah modern. Upaya modernisasi ini dapat dilihat dengan dua cara, yaitu merubah sisitem halaqoh menjadi klasikal dan memasukkan mata pelajaran umum ke dalam kurikulum madrasah.
Sedangkan jalur non-formal ditempuh dengan mendirikan masjid dan majelis ta’lim. Melalui wadah ini Zainuddin memperkenalkan kepada masyarakat beberapa spek pemikiran Islam. Sedangkan dalam bidang tasawuf ia dikenal sebagai pengamal tasawuf Naqsabandiyah. Dari pengalaman ini ia menyimpulkan bahwa hanya orang-orang tertentulah yang bisa mengamalkan ajaran-ajaran tasawuf, sebab ada prasyarat-prasyarat tertentu yang tidak semua orang sanggup memenuhinya. Bagaimana supaya masyarakat banyak yang mengamalkan ajaran tasawuf. Disinilah Zainuddin mulai menyusun wirid tersebut diambil dari alquran, al sunnah dan perkataan ulama. Susunan wirid dan doa ini kemudian dinamakan Hizb Nahdhatul Wathan. Dengan Perjuangan dakwah dan usaha kerasnya bersama para Tuan Guru dan Kiyai lainnya sehingga akhir-akhir ini para penganut paham Islam wetu telu sudah jarang di temukan, kalaupun ada namun mereka hanya sebagian kecil saja dan bertempat tinggal di pelosok atau daerah terpencil Pulau Lombok.

D. KESIMPULAN
Dari beberapa penjelasan diatas menunjukkan bahwa faham islam wetu telu merupakan sikap keberagaman sekelompok masyarakat masyarakat Pulau Lombok yang kebanyakan menetap di Kecamatan Bayan Lombok Barat yang cenderung filosofis, teologis, mistis dan mereka menjalankan ibadah sholat hanya 3 (tiga) kali yaitu sholat jum’at, sholat jenazah dan sholat dua hari raya yang pelaksanaannya dilakukan dengan cara perwakilan. Oleh karena itu lebih tepat jika faham islam wetu telu ini disebut sebagai salah satu bentuk kepercayaan atau agama lokal bagi sekelompok masyarakat muslim di Nusa Tenggara Barat.
Mengenal asal usul faham islam wetu telu terdapat dua pendapat, pendapat pertama mengatakan bahwa istilah faham tersebut berasal dari pemeluknya. Pendapat kedua mengatakan bahwa istilah islam wetu telu berasal dari luar pemeluknya. Pendapat pertama agaknya sulit untuk diterima karena dua alasan, yakni :
1.Para penganutnya justru yang merasa keberatan jika faham islam wetu telu ini diidentikkan dengan praktek ajaran Islam yang kurang sempurna. Menurutnya apa yang mereka anut didasarkan pada ajaran Islam yang benar dan telah sesuai dengan kepercayaan yang diwariskan secara turun temurun dari nenek moyangnya.
2.Bahwa istilah islam wetu telu berasal dari kelompok yang merasa telah menjalankan ajaran Islam secara benar.Namun di lain pihak masyarakat sasak (Lombok) secara umum yang taat menjalankan ajaran agama islam waktu lima secara turun temurun baik dalam bentuk pelaksanaan ibadah ritual maupun ibadah sosial, tentunya tidak sejalan dengan konsep ajaran islam wetu telu. Relasi antara islam wetu telu dengan islam waktu lima menunjukkan hubungan yang bersifat antagonis. Ekspansi islam waktu lima melalui usaha dan kerja keras para kiyai dan Tuan Guru yang ada di seluruh wilayah Pulau Lombok menunjukkan pengaruh yang berarti bagi perubahan pola dan sikap para penganut islam wetu telu.
Dalam perkembangan selanjutnya mereka merubah pola keyakinannya untuk mengikuti konsep ajaran islam waktu lima. Sebagai bukti dari kesungguhan mereka untuk menjalankan islam waktu lima adalah bahwa banyak di antara mereka yang belajar pada para kiyai dan Tuan Guru untuk memperdalam ajaran islam waktu lima yang sebenarnya dan banyak pula anak-anak mereka disekolahkan di madrasah tsanawiyah dan madrasah aliyah. Akhir-akhir ini para penganut islam wetu telu sudah jarang di temukan, kalaupun ada itu hanya beberapa orang saja di antara mereka dan umumnya bertempat tinggal di pelosok terpencil yang aksesnya jauh dari kota kecamatan dan kabupaten.



DAFTAR PUSTAKA

Salam, Solihin. 1979. Deskripsi Aliran Kepercayaan Wetu Telu di Pulau Lombok. Jakarta: Balitbang Depag RI.
Budiwanti, Erni. 2000. Islam Sasak Wetu Telu Versus Waktu Lima. Yogyakarta: LKIS.
Wacana, Lalu. 1987. Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat. Mataram: Pemerintah Daerah NTB.
Azra, Azyumardi. 1996. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad ke XVII dan XVIII. Bandung: Mizan.
Yunus, Mahmud. 1979. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Mutiara.
Coulson, Noel J. 1987. Hukum Islam Dalam Perspektif Sejarah. Jakarta: P3M.
Dhofier, Zamahsyari. 1983. Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Kiyai. Jakarta: LP3ES.
Departemen Agama. 1979. Deskripsi Aliran Kepercayaan Waktu Telu di Pulau Lombok. Jakarta: Litbang Depag.
----------------. 1999. Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Millinium Baru. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu.
----------------. 1985. Biografi Ulama di Nusa Tenggara Barat. Jakarta: Litbang Depag.
----------------. 1992. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Citra Baru. Dan Departemen P dan K. Sejarah Nusa Tenggara Barat. Mataram: Proyek P dan K.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar