Minggu, 10 April 2011

GELANDANGAN SEBUAH PERSPEKTIF PRILAKU MENYIMPANG ( Studi Kasus di Kota Jakarta )

A. LATAR BELAKANG MASALAH
Dalam kehidupan masayarakat di manapun, Masalah sosial merupakan suatau fenomena yang memiliki berbagi macam dimensi. Oleh karena begitu banyak dimensi yang terdapat di dalamnya sehingga mengakibatkan persoalan ini menjadi pusat perhatian dan kajian ilmiah terutama sekali adalah masalah gelandangan. Akan tetapi, walaupun masalah ini telah lama namun sampai sekarang belum diperoleh rumusan langkah-langkah yang preventif dan tepat untuk mengatasi dan mencegahnya. Corak masyarakat manapun tidak akan pernah menerima persoalan semacam itu muncul di dalamnya karena jelas-jelas tidak sesuai dengan harapan atau tidak sesuai dengan nilai, norma dan standar sosial yang berlaku.
Di sisi lain juga bahwa persoalan itu dianggap sebagai masalah sosial berat karena kerap kali menimbulkan berbagai penderitaan dan kerugian baik fisik maupun non fisik, sendiri-sendiri maupun kelompok masyarakat. Menurut Parrilo dalam Soetomo (2008 : 6) bahwa kondisi seperti itu seringkali dikatakan sebagai pelanggaran nilai-nilai atau standar sosial dari salah satu atau beberapa sendi kehidupan masyarakat. Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa fenomena sosial berupa gelandangan merupakan permasalahan serius bagi negara dan juga masyarakat sebab hal itu termasuk dalam kategori prilaku menyimpang.
Salah satu persoalan yang tidak jarang menjadi sumber perdebatan dalam studi atau kajian ilmiah adalah tentang definisi gelandangan itu sendiri. Menurut Sudarsono (2008 : 56) bahwa yang dimaksud dengan gelandangan adalah mereka yang tidak memiliki tempat tinggal yang tetap, juga secara yuridis tidak berdomisili yang autentik. Sedangkan Soedjono mendeskripsikan bahwa gelandangan merupakan sebuah problem yang sangat rumit bagi pemerintah dan mereka juga disebut tuna karya (tidak punya pekerjaan) dan tuna wisma (tidak punya tempat tinggal). Jadi pada hakekatnya gelandangan adalah para subyek yang tidak memiliki tempat tinggal juga secara yuridis formal subyek tersebut tidak memiliki domisili secara sah dan teratur.
Multi kompleksnya persoalan gelandangan ini sangat memusingkan pemerintah DKI Jakarta dan jajarannya karena hampir di setiap sudut kota penampakan mereka selalu ada dan mereka sering berkeliaran. Dalam makalah ini dapat diberikan gambaran tentang beberapa tempat di wilayah DKI Jakarta yang menjadi sarang para gelandangan baik anak-anak, remaja maupun orang-orang tua. Beberapa wilayah tersebut antara lain ; (1) Jakarta Pusat yaitu di sekitar pasar dan stasiun senen, (2) Jakarta Barat yaitu di wilayah Grogol, (3) Jakarta Timur yaitu di wilayah Jatinegara, (4) Jakarta Utara yaitu di wilayah Penjaringan, dan (5) Jakarta Selatan yaitu di wilayah Cipuler. Kenyataan ini bisa dijadikan dasar karena berdasarkan fakta pengalaman pribadi yang disaksikan dan dilihat secara langsung oleh penulis yang selama kurang lebih tiga tahun tinggal di kota Jakarta. Kehidupan gelandangan ini bukan saja dialami oleh pemerintah Kota DKI Jakarta, akan tetapi juga dialami dan dirasakan oleh pemerintah kota-kota besar lainnya seperti Surabaya, Yogyakarta, Bandung, Ujung Pandang, dan Medan.
Apabila persoalan gelandangan sebagai fenomena sosial dikaitkan dengan kajian ilmiah maka lebih tepat bila dihubungkan dengan toeri fungsional struktural yang melahirkan perspektif prilaku menyimpang (Soetomo ; 2008 : 15). Dalam kehidupan bergelandangan biasanya dilakukan secara sendiri-sendiri dan berkelompok. Aktivitas mereka kadang kala sering mengganggu orang lain dan sering mengundang perhatian banyak orang. Banyak hal yang mereka lakukan sebagai aktivitas bergelandangan, misalnya dengan meminta-minta, mencopet, menjambret dan bahkan melakukan perbuatan penodongan baik secara pribadi maupun secara berkelompok. Terlepas dari apakah perbuatan bergelandangan itu dilakukan secara individu ataupun kelompok, yang jelas bahwa gelandangan itu merupakan fenomena sosial yang sangat serius dan membutuhkan penanganan yang cepat dari semua kalangan.

B. PERMASALAHAN
1. Apakah penyebab munculnya gelandangan?
2. Penyimpangan apa yang terjadi pada fenomena gelandangan?
3. Bagaimanakah langkah-langkah preventif untuk memecahkan masalah gelandangan?

C. PEMBAHASAN
Secara umum bahwa gelandangan merupakan prilaku menyimpang, sehingga sering disimpulkan sebagai fenomena atau masalah sosial yang perlu mendapat perhatian serius dari semua kalagan. Untuk mendapat gambaran tentang gelandangan sebagi prilaku menyimpang, maka dapat dijelaskan pada bagian pembahasan beberapa rumusan permasalahan di bawah ini :
1. Penyebab munculnya gelandangan
Dalam berbagai perspektif kehidupan manusia banyak hal yang mendukung, mendorong dan bahkan sebagai embrio yang menuju ke arah munculnya gelandangan tersebut. Pemikiran tentang gelandangan mengandung anasir multidisiplin ilmu yang satu sama lainnya saling terkait dan menopang baik sosiologi, ilmu hukum, ilmu ekonomi, ilmu pendidikan, etika, dan estetika. Fenomena yang ferivikatif dan tingkat validitasnya memadai ini, menyebutkan bahwa individu-individu yang bergelandangan itu meliputi semua jenis kelamin yaitu laki-laki, perempuan dan waria serta merata dalam tingkat usia. Implikasi dari kehidupan gelandangan yang strukturalistik ini kerap kali ditemukan orang-orang tua, waria, remaja, anak-anak di bawah umur dan bahkan balita berada dalam semesta kehidupan yang menunggu perbaikan secara total dalam integralitasnya.
Dari beberapa hasil pengamatan terhadap gelandangan, dapat disebutkan bahwa penyebab munculnya gelandangan di DKI Jakarta atau dibeberapa kota besar lainnya dibedakan ke dalam faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern meliputi ; faktor sifat malas, tidak mau bekerja, mental yang tidak kuat, adanya cacat fisik dan adanya cacat psikis (kejiwaan). Sedangkan faktor ekstern terdiri dari ; faktor ekonomi, geografi, sosial, pendidikan, psikologis, kultural, lingkungan dan agama. Faktor ekstern ini adalah faktor yang utama dan rentan untuk melahirkan gelandangan, selanjutnya dapat dijelaskan di bawah ini :
1. Faktor ekonomi ; kurangnya lapangan pekerjaan, kemiskinan dan akibat rendahnya pendapatan perkapita serta tidak tercukupinnya kebutuhan hidup.
2. Faktor geografi ; daerah asal yang minus dan tandus sehingga tidak memungkinkan pengolahan tanahnya.
3. Faktor sosial ; arus urbanisasi yang semakin meningkat dan kurangnya partisipasi masyarakat dalam usaha kesejahteraan sosial.
4. Faktor pendidikan ; relatif rendahnya pendidikan menyebabkan kurangnya bekal dan keterampilan untuk hidup yang layak, kurangnya pendidikan informal dalam keluarga dan masyarakat.
5. Faktor psikologis ; adanya perpecahan atau keretakan dalam keluarga dan keinginan melupakan pengalaman atau kejadian masa lampau yang menyedihkan serta kurangnya gairah kerja.
6. Faktor cultural ; pasrah kepada nasib dan adat istiadat yang merupakan rintangan dan hambatan mental.
7. Faktor lingkungan ; pada gelandangan yang telah berkeluarga atau mempunyai anak, secara tidak langsung sudah nampak adanya pembibitan gelandangan.
8. Faktor agama ; kurangnya dasar-dasar ajaran agama sehingga menyebabkan tipisnya iman, membuat mereka tidak tahan menghadapi cobaan dan tidak mau berusaha untuk keluar dari cobaan itu.

Multi kompleksnya masalah gelandanngan bergeser menjadi salah satu problem sosial yang cenderung pada kondisi distruktif dan mendegradasikan nilai-nilai moralitas. Dari tinjauan sosiologis dapat digambarkan bahwa gelandangan ini merupakan salah satu problem sangat memusingkan pemerintah DKI Jakarta, dengan demikian para gelandangan terpaksa berkeliaran diseluruh penjuru kota metropolitan untuk :
a. Mencari makan sekedar sesuap nasi dan seteguk air guna menyambung hidupnya bahkan semata-mata agar dapat bertahan pada tingkat kehidupan maksimal yang dapat dicapainya.
b. Mencari tempat tinggal sekedar untuk dapat melindungi diri dari terik matahari dan hujan walaupun tempat tinggal itu jauh dari tingkat layak huni bagi manusia.
c. Melangkah spekulatif agar mampu mengubah secara perlahan-lahan dari tingkat kualitas hidup yang dimiliki saat ini menuju kualitas lain yang lebih mungkin hidup dan menghidupkan.
Gelandangan di kalangan remaja dan anak-anak di bawah umur tidak berdiri sendiri akan tetapi keadaan ini terjadi karena beberapa sebab yang beragam. Keragaman sebab dapat mendorong remaja dan anak-anak di bawah umur bergelandangan sehingga masalah gelandangan bukan saja dilakukan oleh orang-orang tua atau dewasa semata. Status kehidupan gelandangan yang non struktif ini bukan hanya dirasakan oleh pemerintah DKI Jakarta akan tetapi juga secara implisit dirasakan oleh warga masyarakat kota metropolitan. Dalam perkembangan selanjutnya, masalah gelandangan bukan hanya terdapat di DKI Jakarta akan tetapi juga kota-kota besar lainnya di Indonesia dalam perspektif dan pola hidup yang sama.

2. Penyimpangan yang terjadi pada fenomena gelandangan
Pada hakekatnya gelandangan adalah para subyek yang tidak memiliki tempat tinggal juga secara yuridis formal subyek tersebut tidak memiliki domisili secara autentik. Dalam pemahaman lain gelandangan adalah kumpulan individu yang lapangan pekerjaannya belum memenuhi syarat martabat kemanusiaan secara representatif universal. Mereka merupakan kelompok yang tidak memiliki pekerjaan yang tetap dan layak menurut ukuran masyarakat pada umumnya, juga mereka termasuk kategori orang-orang yang tidak menetap dan kotor serta sebagian besar diantara mereka kurang memahami nilai-nilai dan etika pergaulan.
Ada beberapa penyimpangan prilaku yang ditimbulkan oleh fenomena gelandangan di bawah ini adalah :
1. Melakukan perbuatan miras, misalnya alkoholisme dan narkoba serta sering mabuk-mabukan.
2. Melakukan tindakan kriminal, misalnya penodongan, penjambretan, pencurian, pencopetan, pemalakan dan perkelahian.
3. Melakukan tindakan asusila, misalnya pemerkosaan, pencabulan dan bahkan bagi yang wanita terjerumus menjadi WTS.
4. Melakukan perbuatan mengemis dan pemulung
Selanjutnya dalam studi tentang prilaku menyimpang ini, Soekanto (1988 : 19) mengklasifisikan ada dua tipe penyimpangan yaitu penyimpangan murni dan penyimpangan tersembunyi atau terselubung. Penyimpangan murni adalah prilaku yang tidak mentaati aturan dan juga dianggap demikian oleh pihal lain. Pihak-pihak tertentu menganggap bahwa seseorang melakukan suatu sikap atau tindakan tercela walaupun sebetulnya dia tidak berbuat demikian. Penyimpangan dalam kriminal yang terjadi dalam kehidupan para gelandangan di Indonesia, oleh kalangan kriminal Amerika sering disebut dengan bum rap. Selanjutnya penyimpangan tersembunyi atau terselubung yaitu seseorang melakukan perbuatan tercela akan tetapi tidak ada yang bereaksi atau melihatnya, sehingga oleh masyarakat dianggap seolah-olah tidak ada masalah.
Kemudian untuk melacak lebih lanjut tentang prilaku menyimpang ini perlu pula membedakan adanya prilaku menyimpang yang tidak disengaja dan yang disengaja. Prilaku menyimpang yang tidak disengaja dapat disebabkan karena si pelaku kurang mengetahui atau kurang memahami aturan-aturan yang ada, dapat juga disebabkan karena dalam kelompok yang berbeda mempunyai aturan yang berbeda pula. Prilaku menyimpang yang disengaja terjadi bukan karena si pelaku tidak mengetahui aturan-aturan. Dengan analisis multivariat, maka pelacakan terhadap prilaku menyimpang ini dapat dilihat dari berbagai aspek baik psikologis, sosiologis, ekonomis dan biologis. Sehubungan dengan hal tersebut Becker mengatakan, bahwa tidak ada alasan untuk mengasumsikan hanya mereka yang menyimpang mempunyai dorongan untuk berbuat demikian. Hal demikian disebabkan karena pada dasarnya setiap manusia pasti mengalami dorongan untuk melakukan suatu pelanggaran pada situasi tertentu.
Sementara itu, Sutherland berpendapat bahwa sama halnya dengan prilaku yang normal atau yang conform terhadap nilai, prilaku menyimpang juga terbentuk berdasarkan proses belajar melalui sosialisasi individu yang bersangkutan. Apabila dalam proses sosialisasinya seseorang banyak melakukan kontak dan berinteraksi dengan lingkungan yang bersifat kriminal, maka yang bersangkutan akan belajar tentang cara berpikir yang mendorong ke arah prilaku kriminal. Demikian pula sebaliknya, seseorang yang prilakunya cenderung bukan merupakan masalah sosial apabila orang tersebut lebih banyak bersosialisasi dalam lingkungan yang conform terhadap nilai. Dengan demikian, apakah seseorang prilakunya dalam posisi conformity atau deviation tergantung dari proporsi lingkungan sosialisasinya.

3. Langkah-langkah preventif untuk memecahkan masalah gelandangan
Melihat apa yang telah disebut di atas, barang kali dalam makalah ini dapat diangkat beberapa hal yang cukup signifikan sebagai langkah-langkah preventif untuk memecahkan masalah gelandangan, antara lain tahap identifikasi, diagnostik dan treatment. Namun masing-masing langkah atau tahap tersebut perlu dilakukan secara kontinu, karena satu dengan lainnya saling berkaitan dalam suatu proses.
1. Tahap identifikasi.
Dalam perkembangan kehidupan masyarakat perwujudan fenomena gelandangan dapat merupakan masalah cukup lama yang mengalami perkembangan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Di sisi lain dapat pula merupakan masalah baru yang muncul karena perkembangan dan perubahan kehidupan sosial, ekonomi dan kultural. Sebagaimana sudah diseebutkan sebelumnya, bahwa pada umumnya bahwa masalah sosial gelandangan dianggap sebagai kondisi yang tidak diinginkan karena dapat membawa kerugian baik secara fisik maupun nonfisik pada individu, kelompok maupun masyarakat secara keseluruhan atau dapat juga merupakan kondisi yang dianggap bertentangan dengan nilai, norma dan standar sosial yang disepakati. Oleh sebab itu dibutuhkan kepekaan dalam mengenali dan memisahkannya dari fenomena yang lain. Untuk maksud tersebut dibutuhkan kemampuan identifikasi masalah sejak dini.
Menurut Raab and Selznick dalam Soetomo (2008 : 34) bahwa dari beberapa kriteria yang digunakan, secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua yaitu ukuran obyektif dan ukuran subyektif. Ukuran obyektif merupakan instrumen untuk mengetahui gejala masalah sosial dalam masyarakat dengan menggunakan parameter yang dianggap baku dengan memanfaatkan data yang ada termasuk angka-angka statistik. Contoh jumlah gelandangan di masing-masing wilayah kota Jakarta didata dengan cermat, berapa jumlah orang-orang yang berusia tua, remaja, anak-anak di bawah umur dan jenis kelaminnya.
Ukuran subyektif merupakan instrumen identifikasi masalah sosial berdasarkan interpretasi masyarakat. Pada umumnya interpretasi tersebut menggunakan referensi nilai, norma dan standar sosial yang berlaku. Oleh karena itu ukuran ini menjadi bersifat relatif, karena setiap masyarakat memiliki nilai, norma dan standar sosial yang berbeda. Dapat saja terjadi suatu gejala atau kondisi yang dalam masyarakat terntu tidak dianggap melanggar nilai dan norma dengan demikian tidak diklasifikasikan sebagai masalah sosial, akan tetapi di tempat lain gejala tersebut dianggap sebagai masalah sosial. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa dalam penggunaan ukuran subyektif, masalah sosial dapat dilihat sebagai hasil konstruksi sosial. Sebagai individu, masing-masing warga masyarakat bersifat aktif, kreatif dan mempunyai kemampuan interpretatif terhadap fenomena yang dihadapi.

2. Tahap Diagnosis
Setelah masalah fenomena sosial gelandangan teridentifikasi, maka selanjutnya akan mendorong munculnya respon dari negara dan masyarakat berupa tindakan bersama untuk memecahkan masalah tersebut. Perlu disadari agar upaya pemecahan masalah mencapai hasil yang diharapkan, sangat dibutuhkan pengenalan tentang sifat, karakteristik dan latar belakang dari para gelandangan, maka hal inilah yang disebut tahap diagnosis. Upaya pemecahan masalah gelandangan yang didasari oleh diagnosis akan diharapkan lebih tepat sasaran dan berpijak pada realitas yang ada. Dengan menggunakan cara berpikira yang sederhana ini, sehingga banyak orang yang beranggapan bahwa masalah social terjadi oleh karena adanya hal yang salah atau kurang benar dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian mendiagnosa pada dasarnya adalah mencari sumber dan latar belakang munculnya gelandangan tersebut.
Berkaitan dengan hal ini, Eitzen (1987 : 12) membedakan adanya dua pendekatan yang relevan yaitu person blame approach dan system blame approach. Pendekatan pertama mencari sumber masalah sosial pada level individu, sedangkan pendekatan kedua beranggapan bahwa sumber masalah sosial ada pada level sistem, sehingga dalam mendiagnosa akan menjadi mudah dan cepat terlaksana.
Pada dasarnya kedua pendekatan di atas mempunyai tujuan yang sama yaitu mencoba mencari sumber dan latar belakang penyebab terjadinya masalah sosial. Namun perbedaan diantara keduanya terletak pada unit analisis yang digunakan. Person blame approach dalam melakukan diagnosa lebih mengedepankan individu sebagai unit analisisnya. Sumber masalah sosial dilihat pada faktor-faktor yang melekat pada individu para gelandangan baik faktor fisik, psikis maupun proses sosialisasinya. Sementara system blame approach lebih mengedepankan pada sistem sebagai unit analisisnya untuk mencari dan menjelaskan sumber dan latar belakang munculnya gelandangan. Pendekatan ini lebih melihat aspek-aspek yang berkaitan dengan struktur sosial, institusi sosial, fungsi dari berbagai komponen dalam sistem sosial, dan kemampuan system social dalam merespon perubahan sosial.

3. Tahap Treatment
Setelah melakukan upaya atau tindakan identifikasi dan diagnosis, maka selanjutnya melakukan tindakan treatment. Tindakan treatment atau upaya pemecahan masalah yang ideal adalah apabila dapat menghapus atau menghilangkan masalahnya dari realitas kehidupan sosial. namun realitas tersebut sulit untuk dapat diwujudkan. Sebagai contoh, walaupun sudah sejak lama adanya kiat untuk menangani masalah gelandangan sebagai bentuk fenomena sosial, akan tetapi sampai saat ini masih tetap dijumpai keberadaannya. Berdasarkan pemikiran ini, maka dalam upaya atau tindakan treatment ini ada beberapa solusi atau usaha yang ditawarkan untuk memecahkan masalah gelandangan, yaitu :
a. Usaha Rehabilitasi
Penanganan masalah gelandangan melalui usaha rehabilitasi ini lebih menekankan pada kondisi pada penyandang gelandangan tersebut, terutama untuk melakukan perubahan atau perbaikan terhadap kondisi yang didak diharapkan atau yang dianggap bermasalah menjadi kondisi yang sesuai harapan atau standar sosial yang berlaku. Dilihat dari sudut penanganan masalah ini, usaha rehabilitasi didasarkan oleh sebuah asumsi utama. Asumsi tersebut adalah bahwa pada diri para gelandangan baik secara individu, kelompok, jenis kelamin maupun tingkat usia terkandung adanya potensi untuk berubah menuju kondisi yang lebih baik.
Atas dasar asumsi itu usaha rehabilitasi dilaksanakan dan memiliki pijakan yang kuat. Apabila asumsi yang digunakan adalah bahwa realitas yang melekat pada para gelandangan itu merupakan kondisi yang tidak dapat diubah, maka usaha rehabilitasi tentu tidak ada gunanya. Perlu dipahami bahwa ada bagian dari kehidupan manusia yang bermasalah berat dan ada yang tidak, hal itu disebabkan karena adanya berbagai faktor yang membentuknya. Dengan demikian apabila faktor tersebut dapat ditangani maka masalah itu dapat dipecahkan dan diperbaiki. Apabila bentuk masalah yang akan ditangani berupa prilaku individu, maka secara konseptual usaha rehabilitasi dapat dilaksanakan dengan mudah, namun bila bentuk masalah yang akan ditangai berupa prilku kelompok, maka secara konseptual pula usaha rehabilitasi mengalami kendala, tetapi secara perlahan-lahan akan mencapai tujuan yang diinginkan.

b. Usaha Preventif
Dalam menangani fenomena sosial pada umumnya dan khusus masalah gelandangan usaha preventif sedikit berbeda dengan asaha rehabilitasi. Usaha rehabilitasi merupakan usaha penanganan masalah sosial dengan fokus perhatian pada kondisi fenomena sosial yang sudah terjadi. Sementara itu usaha preventif mempunyai focus perhatian pada kondisi masalah sosial yang belum terjadi, walaupun mungkin saja di dalamnya terkandung potensi munculnya masalah sosial. Dengan perkataan lain usaha ini merupakan usaha pencegahan atau usaha antisipatif agar masalah sosial tidak terjadi.
Atas dasar hal tersebut, dalam implementasinya usaha preventif ini dapat dilakukan baik pada tingkat individu maupun pada tingkat kelompok. Pada tingkat individu untuk melakukan pencegahan bagi kemungkinan terjadinya prilaku yang mengarah kepada munculnya gelandangan dapat dilakukan dengan memberikan pengawasan dan atau memberikan bekal yang cukup agar dapat tetap eksis dalam menghadapi berbagai persaingan dan tantangan hidup. Bekal tersebut dapat dapat berupa pendidikan, keterampilan dan motivasi. Di sisi lain langkah antisipasinya bisa juga melalui berbagai bentuk program jaminan sosial.
Pada tingkat kelompok, usaha preventif terutama difokuskan pada kelompok-kelompok sosial yang cukup beresiko dan rentan mengarah pada munculnya gelandangan. Sebagai contoh misalnya kelompok orang-orang tua, remaja dan anak-anak di bawah umur yang bertempat tinggal di daerah kumuh dan berpotensi pada kehidupan bergelandangan. Kelompok petani bertanah sempit atau tuna tanah yang berpotensi menjadi penyandang masalah dimusim kering. Dari bebera fenomena di atas penaganannya sama dengan usaha atau upaya yang dilakukan pada tingkat individu atau perseorangan.

c. Usaha Developmental
Usaha developmental dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan atau kapasitas seseorang atau sekelompok orang agar dapat memenuhi kehidupan yang lebih baik. Dengan peningkatan kemampuan tersebut, maka akan tercipta iklim yang kondusif bagi masyarakat untuk menghadapi berbagai tantangan dan tuntutan kebutuhan dalam kehidupannya. Dengan demikian usaha developmental dapat berfungsi sebagai usaha untuk mendukung langkah rehabilitasi dan langkah preventif dan diharapkan lebih memiliki jangkauan ke depan.
Melalui usaha developmental ini para gelandangan setelah melewati masa rehabilitasi bukan saja kondisinya dapat pulih kembali sehingga tidak lagi berposisi pada kondisi semula, akan tetapi lebih dapat mengembangkan dirinya menuju kondisi yang lebih baik. Pada dasarnya melalui upaya developmental ini juga diharapkan terjadi hubungan yang sinergis antara individu dan kelompok sehingga pengontrolannya dapat dilakukan dengan mudah. Di sisi lain upaya developmental ini juga dapat mendukung upaya preventif untuk mencegah agar individu dan kelompok manusia yang lemah tadi tidak kambuh lagi.
Individu ataupun kelompok manusia mengalami kondisi yang sulit dan terhimpit oleh kebutuhan hidup mereka akan rentan kepada kondisi bergelandangan, bisa jadi salah satu sebabnya adalah karena individu ataupun kelompok manusia itu mengalami berbagai hambatan dalam mengembangkan dirinya. Dengan demikian apabila hambatan-hambatan itu dihilangkan atau minimal dikurangi melalui upaya developmental maka akan sangat besar kontribusinya dalam melakukan pencegahan terhadap munculnya fenomena sosial gelandanga. Memperhatikan berbagai hal yang ada kaitannya dengan upaya developmental, maka sesungguhnya usaha ini tidak lain merupakan proses pemberdayaan.
Fenomena sosial gelandangan tersebut di atas, dapat dihubungkan dengan teori fungsional struktural karena dapat melahirkan perilaku menyimpang dan senantiasa akan dapat menimbulkan keresahan sosial. Di sisi lain juga merupakan indikasi dari kehidupan masyarakat yang tidak sejahtera atau paling tidak mengandung unsur-unsur yang dapat menjadi hambatan bagi terwujudnya kesejahteraan sosial. Pengklasifikasian tersebut cukup signifikan dengan apa yang dikemukakan oleh Parrilo dalam Soetomo (2008 : 15) bahwa dalam memahami fenomena sosial, ada dua hal yang menjadi penekanan kita yaitu ; pertama, individual faults and deviant behavior emphasis (kesalahan individu dan penekanan prilaku). Kedua, institusional faults and system disorganization emphasis (kelemahan kelembagaan dan perpecahan sistem organisasi). Kedua penekanan tersebut sangat erat kaitannya dengan kenyataan bahwa masalah sosial mempunyai dimensi yang sangat luas dan menyangkut berbagai aspek dalam kehidupan sosial, termasuk salah satunya adalah fenomena sosial gelandangan.

D. KESIMPULAN

Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa proses perubahan untuk memecahkan masalah sosial terutama fenomena gelandangan dalam kerangka untuk mewujudkan kondisi kehidupan lebih dinamis sesuai harapan, maka hal tersebut dapat dilakukan oleh negara atau oleh masyarakat itu sendiri. Dengan demikian upaya pemecahan masalah sosial ini dapat dibedakan sebagai upaya pemecahan yang berbasis negara dan berbasis masyarakat. Negara semestinya merupakan pihak yang responsif terhadap keberadaan gelandangan, karena perwujudan kesejahteraan setiap warga negara merupakan tanggung jawab dan peran penting negara sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku. Di sisi lain masyarakat sendiri juga akan merespon kondisi tersebut, karena pada dasarnya setiap orang sebagai warga masyarakat sangat mengharapkan kondisi kehidupannya berkembang dan lebih baik.
Salah satu bentuk tindakan negara untuk memecahkan masalah sosial berupa gelandangan ini adalah kebijakan sosial. Suatu kebijakan sosial terhadap penanganan masalah gelandangan itu akan dapat dirumuskan dengan baik dan tepat apabila didasarkan oleh data-data serta informasi yang tepat dan akurat. Beberapa hal yang termasuk dalam kebijakan sosial ini diantaranya adalah memberikan perhatian penuh kepada para gelandangan dimaksud dengan memberikan bantuan berupa materi untuk modal usaha, pendidikan dan pelatihan keterampilan, rumah susun dan membuka lapangan kerja baru. Hal tersebut apabila diimplementasikan akan menghasilkan pemecahan yang efektif dan cepat (tahap identifikasi, diagnosis dan treatment).
Upaya pemecahan masalah gelandangan sebagai muara penanganan masalah sosial juga dapat berupa suatu tindakan bersama oleh masyarakat untuk mewujudkan suatu perubahan. Dalam hal ini perubahan yang dimaksud adalah perubahan dari kondisi yang tidak baik menuju kondisi yang lebih baik dan sesuai harapan untuk mencapai suatu kesejahteraan baik secara pribadi maupun kelompok. Fenomena gelandangan yang disebut sebagai masalah sosial yang merupakan prilaku menyimpang pada dasarnya merupakan indikasi dari kehidupan masyarakat yang tidak sejahtera atau paling tidak mengandung unsur-unsur yang dapat menjadi hambatan bagi terwujudnya kesejahteraan sosial.



DAFTAR PUSTAKA

Ritzer, George dan Goodman, Douglas J, 2008, Teori Sosiologi Modern, Jakarta : Kencana.

Soetomo, 2008, Masalah Sosial dan Uapaya Pemecahannya, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Sudarsono, Drs, S.H, M.Si., 2008, Kenakalan Remaja, Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Yin, Robert K, Prof.Dr., 2009, Studi Kasus Desain & Metode, Jakarta : Rajawali Pers.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar